5. TEKA-TEKI

23 5 1
                                    

Perpaduan sejarah serta imajinasi penulis tersaji. Kebijakan para pembaca diharapkan.
.
.
.
.

"Pandang sekitarmu, Randen Ayu. Pandangilah bahwa bangsa kita adalah bangsa besar!" hanya itu, kalimat yang Jayawisesa katakan padanya. Seperti kebanyakan Eyang yang sudah ditemui, mereka berkarakter misterius. Enggan mengucapkan secara gamblang. Malah sengaja membuat Kumala berpikir. Kumala mendesah lesu. Sejenak menetralkan pikiran yang kalut penuh teka-teki.

"Sulit sekali menghadapi para Eyang," keluhnya mengadah ke atas langit suram.

"Hmm.. bangsa yang besar ya?" gumamnya kembali berpikir ditemani suara deburan air terjun Blawan. Percikan air beraroma blerang menerpa kulitnya yang halus membuatnya sedikit menoleh. Sudah berapa lama ia pergi meninggalkan alam Bawana? jika dirasa-rasa, ia mulai kesepian. Biasanya, ia sedang berlarian di Padang rumput bersama Dumandi dengan sayap besarnya (jika ia tak sibuk). ia merasa rindu.

"Akh!" ia berdecak sebal lalu bangkit dari duduk nya. Mana ia tahu, bahwa Dunya yang ia pijak sekarang sebesar apa? jika memang diharuskan mengitari seluruh Nusantara seorang tanpa kencana, mimpi namanya!
Kapasitasnya terbatas. Lagi pula pasti berbahaya di daerah luar. Perlindungan dari kelat Kiwa tidaklah cukup.

Kumala berkacak pinggang, memandang air terjun di hadapannya dengan wajah masam.

"Wajah jelita seperti ini ndak bagus jika di tekuk"

Kumala menoleh kaget saat suara berat tepat berada di sebelahnya. Ternyata Babad ada disana. Kumala mengerutkan keningnya heran sekaligus panik. "Babad! apakah kau sudah mati? hingga bisa menghampiriku secepat ini?" tanyanya menganga lebar.

Senyum di wajah keriputnya memudar seketika. "Sembarangan!" balasnya sebal. Kumala masih menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Inilah perwujudan sukma ku. Kami mengkhawatirkan keadaanmu sejak kemarin malam. Kau baik saja, Raden Ayu?" tanyanya khawatir dengan nada medok yang khas.

"Ah.." Kumala mengangguk paham. Yang ia lihat sekarang hanya perwujudan jiwa Babad yang sedang melakukan perjalanan spiritual. Jika kau pernah melihat manusia bersemedi sambil memejamkan mata, bisa saja sukma nya sedang berkeliaran.

"Aku baik saja, Babad. Berkat bantuan kalian, aku selamat" balasnya tersenyum hangat. Mendengar itu, Babad mendesah lega lalu mengaitkan kedua tangannya di belakang.

"Jadi.. bagaimana sejauh ini? apa lagi yang akan Raden Ayu lakukan?" ia berkata seakan-akan sudah mengetahui isi kepala Kumala yang berantakan sejak tadi.

"Tentu saja menghatur sembah pada Eyang tanah Jawa yang lain. Tapi, perkataan Eyang Jayawisesa menguras pikiranku" jawabnya seraya menunduk bingung.

"Pandangilah, bahwa bangsa kita adalah bangsa besar. Itu yang ia katakan" Mendengar itu, Babad terkekeh memegangi ikat kepalanya.

"Apa yang lucu?" kesal Kumala merasa bodoh.

"Hahaha Ndak! saya baru mengerti sekarang. Ternyata banyak dari mereka begitu bangga dengan masa lampau. Tak sedikit, malah meremehkan cucunya di masa ini"

"Perkataan Eyang Jayawisesa tidak seperti meremehkan masa sekarang, Babad. Kau jangan salah kira" tegurnya.

"Raden Ayu jangan tersinggung. Kalaupun Eyang Jayawisesa memang meremehkan masa sekarang, saya kira itu memang benar"

"Kenapa?" tanyanya kesal karena ia merasa dirinya lah generasi muda jika di bandingkan dengan para Eyang. Lagi pula, mengapa Babad terdengar besar kepala? padahal jika di bandingkan dengannya, umurnya hanya seperti bayi baru lahir. Ia mendelik sebal.

DiajengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang