6. ANGIN

20 5 1
                                    

"Hatur sembahku untuk Rahyang Antari Kusuma... " ucap Kumala lirih, bersimpuh diatas aula megah yang dikelilingi pura tinggi. Langit jingga menyala indah sehingga memperjelas lekuk paras ayu sang Kumala. Lantai aula itu teramat luas dengan ukiran bata rumit yang sedikit berlumut. Dihadapannya, sosok mulia Eyang Antari Kusuma berdiri gagah dengan latar pohon besar yang rimbun. Daunnya berguguran diterpa angin lembut. Udaranya terasa seringan bulu.

Berbeda dari yang lain. Tubuh Antari Kusuma dua kali lipat lebih besar dari Eyang sebelumnya. Kakinya terlihat kokoh dengan dada yang bidang. Kumis lebat memperindah wajahnya yang tegas. Setengah rambutnya berayun indah dengan mahkota Gelung praba yang menyala-nyala. Tubuh gagah nya terekspos bebas, bagian bawahnya memakai kain yang di lilit sedemikian rupa dengan motif rumit. Seketika Kumala merinding kala mendengar suara berat Rahyang Antari Kusuma. Eyang menyambutnya dengan tangan terbuka hingga rasa canggung luruh seketika. Ternyata, Eyang satu ini tak se-seram yang dibayangkan.

Kumala di titah untuk berdiri. "Nikmatilah jamuan ku, Kumala" ucapnya berat lalu melangkah lebih dulu. Kumala mengekor dari belakang yang tingginya hanya sampai di ulu hati. Ia sama sekali tak berani mendongak hanya untuk melihat wajahnya. Ia dibawa masuk kedalam gapura tinggi di sebelah kanan yang cukup jauh. Semata memandang, ia dimanjakan oleh pemandangan indah di sekitarnya. Lonceng kecil yang terikat di kaki Eyang memantulkan suara gemericik yang menenangkan telinga. Kumala tersenyum kecil, rasanya ingin memiliki benda itu. Lamunannya buyar kala kening menubruk punggung Eyang. Ia panik, segera bersujud meminta ampun.

"Nuwun Sewu..." ucapnya panik. Melihat itu, Eyang tertawa renyah dan membangkitkan tubuh Kumala yang sebesar anak kecil. Antari Kusuma tipe orang yang tidak banyak bicara tapi memiliki wajah yang ekspresif. Sering Kumala dengar, Eyang terkekeh pelan hanya untuk menanggapi perkataannya. Eyang enggan menjawab dan hanya memberikan kumis yang menukik naik.

Jamuan telah tersedia dengan mewah. Para dayang berkumpul di sisi meja yang terdapat banyak makanan yang di antaranya tersedia Skul dinyun, celeng dan kuluban

Antari Kusuma duduk terlebih dulu dan diikuti Kumala yang duduk dihadapannya dengan jarak yang tak dekat. Kumala merasa kikuk, pasalnya ini pertama kali diberi jamuan semewah ini. Eyang menatap Kumala lalu tersenyum. Ia mengambil lauk kedalam piring tanah liat yang diberi alas daun pisang sebagai tanda pembuka. Kumala balas tersenyum, menunggu Eyang selesai dengan urusannya. Eyang terdiam, ia selesai memasukan lauk yang ia suka. Sekarang gilirannya. Kumala mengambil celeng dengan kikuk sedikit kesulitan. Lagi-lagi Eyang tersenyum lalu tangan besarnya menjulur untuk menarik sepotong kaki celeng untuknya.

"Matur nuwun..." ucapnya pelan tak enak. Antari Kusuma tak menjawab. Benar-benar irit bicara. Sepanjang makan, kesunyian menyelimuti mereka. Hanya terdengar suara kunyahan kecil dari mulut masing-masing. Kumala ingin segera pergi dari situasi ini.

Yang tidak Kumala sadari, Eyang menatap kelat Kiwa dengan tatapan tak suka. Tangan kanannya menopang dagu di atas meja, memperhatikan kelat yang terpasang di tangannya. "Tak akan berguna" gumamnya membuat Kumala menoleh penuh tanya.

Melihat tatapan penasaran itu, Eyang berdiri, sontak membuatnya bergegas mengikuti. "Berlabuh lah disini sementara waktu untuk istirahat" ucapnya singkat lalu memberi lirikan mata kepada salah satu dayang perempuan terdekat. Dayang itu menunduk patuh lalu mendekati Kumala untuk menghantarkannya. Ia sedikit kebingungan. Tak ada rencana istirahat didalam perjalannya. Tapi, tak sopan jika menolak. Jadi ia menurut saja mengekor dayang dengan patuh.

Sebelum benar-benar berpisah dengan Eyang, suara berat menghentikan langkahnya. "Sebenarnya, keturunan Patih tak bisa membantu banyak. Akan kuberi sesuatu yang lebih berguna," ucapnya, lalu melanjutkan langkah. Kumala menyerngit heran, bagaimana bisa keturunan Patih tak berguna? merekalah yang menolongnya di gunung Alas Purwo. Bahkan Babad sangat membantu memberi informasi.

DiajengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang