7. PRAMBANAN

27 5 1
                                    

Persatuan sejarah dan imajinasi penulis tersaji. Kebijakan pembaca diharapkan.
.
.
.
.
.

Kumala dibawa masuk kedalam keraton Merapi bersama kencana dan Maha Bayudarma di sisinya. Luka yang ia dapat belum sembuh total. Akibat dari menendang Banaspati masih terasa panas menembus kulit membuat luarannya bersisik. Pun cakaran Kuntilanak dirasa semakin parah. Kumala ditempatkan di sebuah pendopo dengan bilik sederhana berbahan kayu jati dengan ukiran bunga. Ukiran dari bilik kayu itu bolong-bolong mengikuti bentuk daun, sehingga Maha Bayudarma bisa melihat Kumala dari luar yang sedang dirawat oleh para dayang. Pria itu menatapnya lurus dengan tangan bersatu dibelakang. Para dayang menutupi luka Kumala dengan daun yang sudah ditumbuk menyerupai bubur, kemudian ditutup oleh kain polos. Ia meringis kesakitan kala luka tersebut terasa memanas akibat reaksi obat. Reflek, ia menepis tangan salah satu dayang yang sedang mengikat tangannya.

"Pengaruh obat itu tak akan berlangsung lama, Raden Ayu. Tolong tenanglah," ucap Maha Bayudarma mencoba menenangkan Kumala yang terkesan panik. Para dayang mulai kewalahan mengatasi gadis itu yang terus berontak berusaha melepas obat. Kumala terus mengerang kesakitan, karena reaksi penyembuhan bahkan lebih sakit daripada saat menerima serangan.

"Lepas! lepaskan semuanya!" pekiknya terus melempar tumbukan obat ke sembarang arah hingga mengotori jarik salah satu dayang. Maha Bayudarma mendekat, menyibak tirai tipis di hadapannya. Ia rengkuh tubuh kecil Kumala dalam dekapannya dan mengelus kepalanya lembut. Ia hapus jejak keringat yang terus membasahi anak rambutnya seraya memegang pergelangan tangannya agar tidak terus menyusahkan.

"Raden Ayu... Tenanglah," ucapnya selembut mungkin. Bagai sihir, perlakuan lembut Maha Bayudarma berhasil membuatnya tenang perlahan. Kumala mengatur nafasnya yang berantakan, lalu mendongak ke atas menatap mata pria itu yang begitu khas. Maha Bayudarma ikut menatapnya lekat lalu tersenyum. Dayang yang menyadari situasi ini segera berjongkok perlahan mundur meninggalkan mereka berdua.

"Bagaimana akan sembuh jika terus menolak, hm?" gumamnya halus seperti menghadapi kayu yang rapuh. Menyadari ini, Kumala terlena dengan perasaan aneh dalam hatinya. Hal yang tak pernah ia rasakan. Namun sedetik kemudian ia terkesiap dan melepaskan diri dari rengkuhannya. Ia berdiri di tepi kasur yang bersebrangan, segera bersimpuh dan mengatupkan kedua tangan di atas kening walau kesakitan.

"Hatur sembahku untuk Maha Bayudarma. Pangapunten sudah menyulitkan dan merepotkan dengan kedatanganku. Mohon ampun.." ucapnya gemetar. Melihat ini, Maha Bayudarma segera mengikis jarak dan menariknya untuk berdiri dengan perasaan tak puas. Ia mendudukkan Kumala di bibir kasur menatapnya dengan alis bertaut.

"Jangan lakukan seperti ini lagi padaku, Raden Ayu." ucapnya pelan namun terdengar jengkel. Baginya, perlakuan seperti ini seakan memperjelas jarak yang jauh diantara mereka. Ia tak menginginkan hal itu, karena ia ingin lebih dekat dengannya. Mulai sekarang.

Kumala menatapnya dengan takut. Ia merasa bodoh telah melakukan kontak fisik yang begitu dekat walau bukan ia yang melakukan. Sungguh tidak sopan! pipinya bersemu merah karena merasa malu yang teramat sangat. Jika waktu dapat di putar, ia ingin menjauhkan diri dari Maha Bayudarma. Pria itu menyadari gerak-gerik Kumala, kemudian ia mendengus senang hampir tertawa. Baginya sangat lucu ketika melihatnya merasa malu dengan pipi merah. Sudah ia lihat adegan ini sebelumnya saat di sendang, namun melihat dengan jarak lebih dekat ia ingin sekali tertawa. Sepertinya, membuat gadis ini merasa malu akan menjadi candu baru.

"Ada apa?" tanya Kumala polos.

"Ahh, tidak" balasnya segera menghilangkan perasaan humor yang menggelitik perut. Perasaan jengkelnya hilang seketika, lalu meraih tumbukan herbal didalam baki emas. Ia julurkan tangan Kumala untuk mendekat dan menempelkan obat itu di lengan atas yang terkena liur pocong. Lagi-lagi, Kumala mengerang kesakitan yang tertahan. Maha Bayudarma menatapnya penuh harap dan khawatir. Namun ini untuk yang terbaik. Beberapa menit berlalu, benarlah apa yang dikatakan pria itu kalau rasa sakit tak berlangsung lama. Kumala saja yang terlanjur panik sebelumnya. Maha Bayudarma berdiri kemudian berlutut meraih kaki kanannya yang terbakar. Kumala ikut berdiri panik! bagaimana mungkin penguasa Merapi merendah untuk mengobati kakinya yang hina.

DiajengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang