002

394 28 16
                                    

Jevin terdiam, memandang ponsel yang menampilkan roomchat. Pesan dari seseorang yang terbaca sejak tadi belum dibalas. Lalu, matanya menoleh pada bangunan seberang. Si pengirim sedang sibuk memberikan kembalian pada pelanggan sambil tersenyum ramah.

Cantik.

Jevin selalu tersihir dengan sunggingan manis mantan istrinya. Kenapa dulu dia tidak menyadari betapa mempesonanya Yara? Atau inikah yang dinamakan karma? Saat hubungan sudah usai, si pasangan semakin terlihat rupawan.

Lalu, pria berkemeja coklat ini menyeruput Americanonya. Rasanya selalu tepat karena pahitnya memiliki penawar, yakni wajah Yara. Hari-harinya selalu cukup saat memandang dari jauh tanpa diketahui keberadaannya. Tapi hari ini berbeda, karena si mantan istri malah lebih dulu mengabarinya dengan pesan singkat.

'Siang, Kak. Ini gue, Yara. Dapet nomornya Ka Jevin dari Juna. Ka Jevin apa kabar?'

Lalu, pria malang ini menghambuskan nafas panjang seperti membuang beban-beban berat dalam pikirannya. Sesekali masih melirik chat dari mantan istri tanpa ingin balas mengabari. Tapi, jika dibiarkan pun, Jevin akan gelisah. Ia tidak bisa mengabaikan Yara.

Jadi, ponselnya diambil. Mengetikkan beberapa kalimat seperti, 'siang juga, Ra. Ooh, dari Juna. Gue baik, lo gimana kabarnya?'

Merasa tidak yakin, Jevin menghapusnya. Kali ini dengan susunan kata yang lebih singkat, 'gue baik-baik aja. Kalo lo?'

Kembali merasa kurang tepat namun tidak ingin terlalu lama berkutat, Jevin memutuskan untuk membalas dengan sederhana. Hanya satu kalimat yang isinya kebohongan.

'baik'

Padahal jelas, tiga setengah tahun terakhir ini tidak pernah baik-baik saja.

Lalu, Jevin kembali melihat ke depan, pada Yara yang sedang membuka ponsel. Maka, Jevin juga melirik gedgetnya. Tepat tanda whatsapp pada pesannya bercentang biru. Anehnya, Jevin tersenyum. Rasanya menggembirakan namun sedang ia tahan agar tidak meletup-letup. Jevin merasa lega saat Yara masih menghargainya sebagai manusia.

'syukur, deh. Ohiya, Kak. Kapan ada waktu kosong? Ada yang mau gue sampein.'

Sudah berkali-kali Jevin menghindar, menjauh dan berakhir dia yang penasaran sendirian pada maksud Yara mengabarinya. Jadi, kali ini Jevin tidak memiliki alasan sebanyak dulu untuk menjauh. Barangkali Yara hanya memberikan surat undangan dan setelahnya mereka benar-benar usai.

'lo mau kapan?'

'hari ini bisa?'

'ya'

'oke, di café othentic ya, Kak. Jam lima bisa?'

'ya'

Begitulah, janji yang akhirnya mereka buat begitu saja. Tanpa Jevin sadari, semakin ia ingin memperpanjang jarak semakin Tuhan mempersepit ruang. Tanpa diminta, Yara mendekat dengan mudahnya.

Padahal tiga tahun setengah ini, misi Jevin sangat sederhana. Ia benar-benar tidak ingin terlihat dari pandangan Yara namun selalu hadir untuk ada. Sekedar menjaganya, melindunginya atau sekedar mencintainya dari ruang yang tak terlihat. Mimpinya untuk bersatu dengan Yara dalam hubungan asmara tidak benar-benar ingin dibuktikan. Itu hanya sebagai penyemangat hidup agar ia bisa makan sesuap nasi sehari-hari. Sebab, Joni berkata, "lo dulu, Vin. Lo yang harus sembuh dulu. Kalo mau jaga Yara, lo juga harus makan. Gimana nanti lo mau lindungi Yara kalo badan lo aja kerempeng begini?"

Masa-masa saat merindukan Yara juga membuat Jevin sakit. Ia tidak nafsu makan dan hanya ingin melihat raut mantan istrinya. Namun, kala itu Yara tidak sudi melihatnya. Yara menolaknya berkali-kali dan rasanya Jevin sedang dibuang begitu saja. Jevin dicampakkan dengan mudahnya oleh mantan istrinya. Kurang lebih, rasanya seperti tidak diizinkan hidup didekatnya. Tidak diizinkan menghirup udara ciptaan Tuhan sekedar menikmatinya. Jevin seperti sedang dibunuh perlahan namun tidak diizinkan tutup usia segera.

FINISH TO STARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang