008

162 23 1
                                    

"Vin, itu Yara." Ujar Joni sambil menyenggol lengan kawannya. Lalu, Jevin menoleh ke arah yang barusan Joni tunjuk. Di pintu masuk, ada Yara yang berdiri dengan Andy sedang memperhatikan sekitar. Mengamati satu persatu meja berharap kursi kosong tersedia untuk keduanya.

Untuk mengantisipasi kakak-beradik itu melihatnya, Jevin memilih untuk menatap ponsel di tangan. Menunduk dan berpura-pura sibuk sendiri daripada canggung karena mata bersinggungan dengan Yara. Jari jempol memencet roomchat sebagai kegiatan, melihat banyak pesan yang belum dibaca tanpa berniat membalasnya. Sebab otak sudah penuh dengan kegelisahannya sendiri. Bahwa Yara dan Andy belum menemukan tempat kosong untuk mereka duduki.

Kepalanya mendongak untuk memastikan mantan istrinya tidak berdiri terlalu lama, namun suasana riuh karena ocehan orang-orang yang terlalu menikmati masakan khas jepang ini cukup memberi tanda bahwa belum ada ruang untuk Yara maupun Andy bisa mengistirahatkan bokong di atas kursi.

"Pindah, yuk." Ajaknya pada Joni. Sebab, sudah hampir tiga menit dua orang yang Jevin pantau itu belum beranjak meski tahu bahwa ruangan tidak cukup untuk keduanya makan.

"Njir, makanan juga belom dateng. Sayang lah uang gue!" Ujar Joni kesal. Kawannya tidak cukup peka dengan keadaan meski sebelumnya, Joni sendiri yang memberi tahu Jevin keberadaan Yara.

"Yuk, buruan!"

"Nggak!" Kukuhnya. Karena mereka sudah menunggu hampir sepuluh menit. Tentu Joni tidak mau.

"Entar duitnya gue ganti. Gue bayarin makanan lain."

Joni menyesal menunjukkan Yara pada Jevin jika berakhir begini. Terlebih lagi, bukan perkara uang yang penting lagi. Ini tentang keinginannya. "Gue lagi pengen Ramen yang disini dari seminggu lalu. Kalo bini gue ngga lagi pulkam juga udah kesini!"

"Yaudah next time."

"Emang lo kenapa ngajakin pindah? Karena Yara? Yaudah, pura-pura ga liat aja. nih, tutupan!" Ucap Joni enteng sambil memberikan buku menu pada kawannya.

Jevin bisa berpura-pura tidak melihat, tapi Jevin tidak bisa menutup mata jika Yara pada posisi tidak nyaman. Ia juga tidak ingin melambaikan tangan mengajak Yara makan satu meja. Lelaki itu tahu, jika dirinya memaksakan untuk ada di satu kegiatan dengan mantan istrinya, hanya rasa canggung yang muncul.

"Yuk, cepetan." Jevin masih berusaha mengajak.

Membuat Joni geram. "Vin, Please! Sekali aja lo mikirin gue bisa ngga?"

Padahal jawaban Jevin sudah jelas. "Ngga bisa!"

"Tai lah!" Umpatnya.

Yang tak disadari, terlalu asik bertengkar malah membuat Andy sudah di samping kursinya dengan Yara yang mengekor di belakangnya. "Bang, ikut duduk boleh ngga? Penuh banget, nih."

"Oh, iya boleh boleh. Duduk aja." Jawab Joni sambil melirik Jevin yang sudah diam, menutup mulutnya karena ada Yara. Sebagai sahabat, Joni sudah mendengar cerita Jevin yang beberapa kali bertemu Yara. Sehingga, saat ini, ia merasa tidak perlu menutupi kehadiran Jevin di depan mantan istrinya seperti dulu lagi.

Kali ini, Joni bukan tidak memikirkan perasaan Jevin. Justru Joni tahu, selama ini Jevin menahan diri untuk tidak melihat Yara secara langsung. Bahkan ia mendengar cerita kawannya jika setiap bertatap tidak pernah berjalan dengan lancar. Lebih tepatnya, keduanya belum saling terbuka dan berakhir dengan salah satu yang meninggalkan pertemuan.

"Sini, Kak. Duduk." Andy mempersiapkan kakaknya duduk di sebelah kursinya, di depan Jevin.

Jevin belum siap untuk menghadapi situasi ini, dimana ia duduk dengan jarak kurang dari satu meter sambil berhadapan. Hatinya kian gelisah dengan keadaan ini. Ada rasa takut jika ia tidak bisa mengontrol ucapan atau tindakannya dan berakhir membuat Yara sakit hati lagi. Dan Jevin hanya memiliki satu kegiatan yang bisa menyelamatkannya. Yakni, mengabaikan Yara dan menatap ponsel yang ia lihat pesan dari koleganya. Tanpa membaca atau berniat membalasnya. Hal ini, bisa membuatnya lepas dari suasana canggung ini. Andy dan Joni juga menyapa sekilas.

FINISH TO STARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang