013

167 19 1
                                    

Jevin tidak memiliki hobi selain memandangi foto kecil yang bisa disimpan dalam dompet. Potret yang dapat membawanya pada kenangan indah yang tidak bisa ia ulang. Hidup bersama Yara dan Jayden. Jevin akhirnya terbiasa untuk berangan-angan tanpa mengaharpkan bisa menjadi kenyataan, yaitu hidup dengan keluarga kecil yang bahagia pada umumnya. Jevin hanya ingin hal sesederhana itu. Makan masakan Yara, duduk memangku putra kecilnya dan tertawa melihat kartun kesukaan Jayden. Meski ia tahu, semua itu adalah fana dan mustahil.

Pintu ruangan yang terbuka membuat Jevin menoleh. Tersadar dari mimpi indah bersama keluarga kecilnya. Adalah Emira yang masuk dan berjalan mendekat ke mejanya. "Kak."

Jevin mendongak, tangan sudah gesit menyembunyikan foto kecil pada laci. "Apa? Ada Yara?"

Biasanya, Emira akan mengajak Jevin bicara jika ada informasi mengenai perempuan tercantiknya. Tapi alis Emira sedikit naik dengan mata memicing, bibirnya juga tersenyum tengil. Dan kalimat yang Jevin dengar adalah, "Yara terussss!"

Jevin tidak berniat menanggapi candaan perempuan yang berdiri di depan mejanya itu. Ia sengaja menatap Emira lama agar perempuan itu sadar bahwa dirinya tidak sedang ingin bermain-main dengannya. Menyadari itu, Emira mulai bicara serius, "kemarin gue liat kalian ketemuan di resto. Kalian udah akrab gue liat. Dan Ka Jevin cinta Yara kan? Ngga mau nyoba buat deketin lagi aja, Kak?"

"Gue cinta Yara, tapi gue ngga harus miliki Yara. Biar dia bahagia sama pilihannya."

Emira membuat kerutan diantara alis, matanya sedikit menyipit, bibirnya terbuka dengan lidah yang sedikit keluar berlagak mual. Tak lupa, ia memegangi perutnya agar lebih puas meledek Jevin. Lelaki galak yang ia kenal ini jarang sekali mengeluarkan kalimat manis. Dan Emira yang ssehari-hari melihat wajah tegas Jevin agaknya merasa tergelitik. Namun, Emira tahu Jevin sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk bercanda. Jadi ia menanggapi, "emang Yaya milih siapa?"

"Siapa aja yang deket sama Yara dan lebih bisa bikin Yara bahagia."

Kedua kali, Jevin mengeluarkan kalimat yang serius dan sedikit mengandung romansa tentang mantan istrinya. Sehingg Emira tidak berani untuk menggodanya lagi.

"Mas Satria? Kayanya udah ngga sama Yara."

"Kata siapa?" Tanyanya penasaran sambil menyenderkan punggung pada kursi kerjanya, masih menatap Emira mencari keseriusan dari perempuan tengil di depannya.

"Kalo dari Yara katanya ngerasa ngga cocok sama sifatnya. Tapi gue yakin alesannya bukan cuma itu. Soalnya dia menyinggung beberapa hal kayak pendidikan dan backgorund keluarga. Padahal, Mas Satria sendiri ngerasa udah cocok banget sama Yara tanpa memandang apapun. Mas Satria ngerasa kalo Yara mirip banget sama masa lalunya."

"Nagapain dimiripin? Kalo gitu mending balikan aja!"

"Ceweknya udah meninggal waktu mereka mau fitting baju buat nikah. Mereka kecelakaan dan Mas Satria yang selamat. Mas Satria ngga pernah mau deket sama cewe manapun lagi. Tapi pas liat Yara, Mas Satria langsung klik. Karena menurut dia, sifat dan fisiknya mirip banget sama mantannya. Semua keluarga udah berusaha buat jodohin dia sama perempuan manapun biar bisa lupa, ternyata engga bisa. Jadi sebenernya keluarga juga mendukung penuh dengan keputusan Mas Satria deket sama Yaya. Tapi Yaya juga kukuh engga mau sama Mas Satria. Yang paling sering Yara singgung sih, soal dia yang punya riwayat jadi pasien rumah sakit jiwa. Yara juga pasti mempertimbangkan banyak hal. Mungkin dia juga mikirin soal persepsi keluarga Mas Satria. Ya gitu lah, Kak. Mereka rumit."

Jevin paham. Yara pernah ada di keluarganya yang kaya. Sayangnya, di pernikahan itu tidak dapat pengalaman menyenangkan. Meski satu keluarga menerima, bukan berarti tidak ada yang berperan menjadi pembenci. Jadi Jevin mengerti alasan Yara menolaknya Satria. Secara garis besar pula dapat Jevin simpulkan bahwa Yara trauma di rumah tangganya.

FINISH TO STARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang