007

192 21 1
                                    

'Anna udah bilang kan ke kamu soal liburan ke Villa?'

Pagi ini, Jevin mendapat pesan dari Haris—Ayah Anna—perkara yang sempat disinggung Oma. Baru juga datang ke resto, moodnya sudah tidak karuan karena paksaan.

Sejak dulu Jevin selalu tegas. Ia akan mengucapkan apa yang pikirannya perintahkan. Jevin tidak suka bertele-tele apalagi merasa tidak enak hati. Ia adalah pria yang selalu kukuh dengan keputusannya. Tapi kali ini, sifatnya yang keras itu tidak bisa terpakai karena Jevin memiliki hutang budi.

'iya, Om. baru mau rencanain waktunya.' Pesan itu terkirim dengan tidak ikhlas.

Jevin benci dipaksa. Apalagi terlihat jelas lelaki paruh baya yang menjadi hakim ini sangat menginginkannya menjadi menantu. Padahal Jevin tidak cinta Anna. Kalau bukan perempuan itu yang merengek dan memohon padanya untuk pura-pura jadi pacar, Jevin tidak akan mau.

Bagusnya, Jevin juga memiliki rencana dalam pelaksanaannya. Daripada hanya berdua, ia akan mengajak orang banyak untuk bergabung. Kalau perlu satu RT agar tidak membawa fitnah atau hal-hal yang tidak diinginkan. Jevin sudah membayangkan betapa canggungnya ia bila satu rumah dengan orang asing yang bukan siapa-siapa.

"Mira." Jevin memanggil Emira yang sedang menelepon. Perempuan itu segera mendekat pada Jevin yang berdiri di pintu ruangan staff.

"Lo mau ikut liburan ngga?"

"Kemana?" Tanyanya sambil menjauhkan ponsel dari telinga.

"Puncak."

Emira melebarkan mata dan tersenyum. Tapi kemudiam, Emira merengut dan bilang, "males. Ngga ada duit."

"Gue bayarin." Ujar Jevin masih berusaha merayu. Ia lebih suka mengeluarkan uang banyak daripada harus liburan berdua dengan Anna. Ia menyadari, rasa nyaman lebih berharga daripada hartanya.

Tapi, Emira masih memiliki alasan lain enggan ikut, "gue sama Juna gada mobil."

"Pake mobil gue."

"Beneran?" Tanyanya dengan mata berbinar, senyumnya kembali merekah.

"Iya."

"Tumben." Celetuk Emira yang sedang bahagia membayangkan refreshing bersama pacar tanpa menguras isi dompet.

"Minggu depan ya."

"Oke. Btw, siapa aja yang ikut?"

"Siapa aja yang mau, ya tinggal ikut." Belum menentukan daftar anggota yang bisa menerima uang gratisnya. Jevin menjawab asal. Barangkali, Emira juga akan mengajak keluarganya. Menurutnya, semakin banyak orang semakin bagus. Semakin ramai semakin memperkecil interaksi intens Anna dan dirinya.

Jevin menegak, berniat kembali ke meja kerjanya. Tapi terdiam karena ucapan Emira, "gue ajak Yara juga, deh."

"Ngga usah. Jangan dia."

Sebab, Jevin takut Yara juga membawa Satria. Melihat kedekatan mereka kemarin di parkiran membuat Jevin mudah overthinking. Lagi pula, mana tahan Jevin memendam cemburu berhari-hari melihat kedekatan Satria dan Yara di depan mata.

Jawaban Jevin yang spontan membuat Emira melotot, ia juga segera memencet tombol merah pada panggilan ponsel. Emira menurunkan alis sambil melebarkan mata, cukup untuk bisa Jevin simpulkan bahwa, "lo lagi nelpon Yara?"

Emira mengangguk kecil, lalu berucap lirih menahan kesal. "Iya! Kayanya dia udah denger."

Emira tidak menduga Jevin akan menolaknya. Lelaki di depannya ini selalu excited dengan mantan istrinya. Jadi, ia berniat menanyakan langsung agar kawannya masuk list orang yang Jevin bayari liburan. Agar Yara tahu sendiri bahwa mantan suaminya peduli. Emira berekspektasi, Jevin akan tertarik dan mengangguk dengan inisiatifnya. Tapi ternyata salah. Justru, Emira memperumit keadaan keduanya.

FINISH TO STARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang