010

184 21 0
                                    

"Yasmin, minta tolong dong anterin gue ke kamar mandi." Ucap Anna, meminta bantuan pada Yasmin yang sedang tidak sibuk apa-apa, hanya berkacak pinggang mengawasi suaminya memotong bawang bombai untuk barbeque. Selain itu, ada Yara yang membuka bungkus frozen food dan Jevin yang mengoleskan bumbu pada daging slice. Mereka berkumpul di meja belakang villa. Dekat dengan kolam renang.

Anna berdiri, dibantu Yasmin sambil melingkarkan tangan di pundak. Sebab, kaki Anna terkilir saat sore tadi mendatangi kebun teh. Berniat menikmati sunset malah berakhir tergelincir. Hal itu juga hampir terjadi pada Yara yang tersandung batu dan hampir jatuh. Untungnya, Jevin berhasil memegang tangan Yara agar wanita itu tidak mencium tanah. Apalagi jika kakinya sampai terluka seperti Anna. Pasti Jevin panik tiada kira.

Kejadian sore tadi masih membekas, Jevin teringat Yara memegang jemarinya erat. Genggaman tangan Yara masih bisa Jevin rasakan hingga sekarang. Saat-saat menyenangkan bahwa rasanya, Yara masih membutuhkan dirinya. Jevin yang gila masih memandangi tangan kirinya. Ia menyembunyikan senyuman dan menahan sekuat mungkin untuk lesungnya tidak menampilkan diri. Walau tetap saja, pipinya selalu bergerak diluar kendali. Jadi, Jevin menyamarkan senyumannya dengan menipiskan bibir.

"Kayaknya bagusan gelang yang item polos deh, ya nggak sih, Yang?" Emira berbicara, matanya menatap tali yang melingkar di pergelangan tangannya. Yang mereka beli sebagai couple saat belanja sore tadi. Ia kemudian menoleh ke belakang, berharap Juna ada, tapi hampa.

Emira balik badan, bersuara ke orang yang paling dekat dengannya. Joni. "Liat Juna ngga, Ka?"

Seingatnya, tiga menit lalu, Juna sedang berdiri di sampingnya. Tengah menikmati waktu berduaan ditengah orang-orang yang sibuk menyiapkan bahan masakan. Bersama melihat city light dari villa, tapi nyatanya Juna tidak ada.

Joni menunjuk lelaki yang dicari Emira dengan lirikan mata.

Sambil berdecak, Emira beranjak menemui pacarnya. Dengan langkah kesal berjalan menjauh dari halaman untuk mendekat pada Juna yang pergi meninggalkannya bicara sendirian seperti orang gila. Wajah sangar ia tunjukkan untuk sang pacar yang meninggalkannya sendirian, Emira juga menarik lengan Juna yang tengah berbicara mengenai salah satu foto dengan Andy di teras.

"Yang!" Panggilnya nyaring. Padahal Juna di depan matanya.

Joni, Jevin dan Yara menoleh. Pada sumber suara yang menjadi pusat keributan. Emira sudah berkacak pinggang, siap siap untuk bertengkar dengan pacar yang ia tembak satu tahun lalu dengan penuh keberanian.

Berbeda dari Emira, Juna menanggapi dengan lembut. Nadanya tetap lirih meski manusia dihadapannya meninggikan suara. "Kenapa?"

"Gue lagi ngomong lo ngga dengerin?"

"Iya, ini gue dengerin."

"Tadi! Bukan sekarang."

"Lo ngomong kapan?"

"Tadi pas disana." Tunjuk Emira pada lokasi yang sebelumnya ia tempati. Di belakang Joni, dekat dengan pembatas dinding villa.

"Lo daritadi diem kok." Juna berujar, bentuk pembelaan diri.

"Ooh, berarti lo pergi dari tadi gitu? Dari sebelum gue ngomong? Terus lo ngga bilang?" Emira masih menggebu-gebu, tangannya sudah nangkring di pinggang. Persis seperti orang tua yang memarahi anaknya karena pulang bermain terlalu sore.

"Emang gue harus bilang?"

"Emang gue harus bilang?" Emira mengulang ucapan Juna. Membuat lelaki itu terlihat sangat berdosa padahal Juna sendiri tidak tau salahnya dimana.

"Wah, gue ngga abis pikir sama lo." Emira menggerakkan kepala kanan-kiri pelan, lalu membuang nafas kesal. Keributan itu masih menjadi tontonan yang ada disana, termasuk Yara yang melihat dan berkomentar, "bentar lagi juga akur."

FINISH TO STARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang