Empat

344 32 3
                                    



Jisung menatap sendu tubuh yang sedang terbaring lemah di brankar rumah sakit dengan infus yang terpasang di tangan kirinya dan masker oksigen untuk membantu pernafasannya. Tangan Jisung menggenggam tangan kanan Chenle, dikecupnya punggung tangan sang terkasih.
Saat ini hanya mereka berdua yang berada di ruangan itu. Jam menunjukkan jarum pendek yang mengarah ke angka delapan dan jarum panjang yang mengarah ke angka tiga, itu artinya sekarang pukul delapan malam lebih lima belas menit.

Flashback on

Dokter yang menangani Chenle berkata. "Tidak ada luka yang serius, pelipisnya hanya tergores, pasien hilang kesadaran karena kepalanya terkena benturan yang cukup keras, ditambah pasien sedang mengandung dan sempat jatuh seperti yang tadi bapak katakan. Hal itu mengakibatkan kontraksi di dalam kandungan pasien yang masih rentan, tadi pasien juga sempat pendarahan, tapi untungnya bayinya kuat seperti orangtuanya. Kemungkinan nanti malam pasien akan sadar jadi bapak tidak perlu khawatir lagi, semuanya baik - baik saja."

"Terima kasih, dok." Jisung balas mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu dokter itu pamit pergi untuk menangani pasien lain.
Saat mendengar penjalasan dokter tadi, rasa lega melingkupi dadanya. Dalam hati Jisung bersyukur Chenlenya tidak terluka parah.

Flashback off

Tangan satunya mengelus permukaan perut yang berisi buah hatinya itu. "Baby memang kuat, seperti baba." Senyumnya terukir saat mengatakan itu.
Pandangannya kembali ke pujaan hatinya yang masih menutup matanya damai, membuat ia kembali berpikir..

Siapa sebenarnya dua orang itu? Berani - beraninya mereka mengganggu keluarga kecilnya yang sedang menikmati hari tentramnya, apa motivasinya mereka melakukan itu? apakah ia pernah melakukan kesalahan hingga ada orang yang dendam padanya?

Tangannya beralih mengelus surai halus milik kesayangannya. Matanya menatap tepat ke mata yang masih tertutup itu, pikirannya kembali melayang. "Kenapa kamu halangin orang yang mau pukul aku pake balok kayu itu? Kenapa kamu selamatin aku di saat kamu juga lagi nahan sakit? Harusnya aku yang halangin orang itu biar ga celakain kamu, harusnya aku bisa jaga kamu biar kamu ga luka, bahkan harusnya aku yang gantiin posisi kamu di kasur ini sayang. Maafin aku ya? Aku belum bisa jaga kamu." Air mata sudah mengumpul di pelupuk matanya sebelum Jisung beralih menatap lurus ke depan, ia kembali meratapi kebodohannya dan memikirkan kejadian tadi.

Seandainya ia tidak membiarkan Chenlenya untuk menyiram bunga di taman belakang sendirian, pasti saat ini keduanya berada di ruang tengah menikmati momen dengan televisi yang menayangkan film favorit mereka. Seandainya ia lebih peka dengan orang yang akan menyerangnya dari belakang, Chenle tidak akan terluka karena orang itu. Seandainya ia lebih gesit melawan dua orang itu, bukan Chenle yang terbaring lemah di brankar rumah sakit seperti sekarang. Semua ini salahnya, Chenlenya sampai begini karenanya.

Air matanya kembali menetes, Jisung benci pada dirinya sendiri atas ini semua. Jisung benci dirinya karena membiarkan hal buruk menimpa kesayangannya, Jisung benci dirinya yang tidak becus menjaga Chenlenya. Jisung be-

"Ji.." Suara parau itu membuat Jisung berhenti berpikir. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, dengan cepat ia mengusap air mata di pipinya.
"Hey.." Jisung mengulas senyumnya, ibu jarinya mengelus pipi kesayangannya. Ia senang Chenlenya sudah sadar.

"Ada yang sakit, sayang?" Telapak tangannya beralih mengusap dahi hingga surai Chenlenya.
"Ngga, mas." Ucapnya pelan disertai senyuman, kepalanya menggeleng kecil.

Chenle melepas masker oksigennya, ia rasa itu tidak diperlukan karena sekarang dirinya sudah sadar dan nafasnya teratur.
"Sayang? Emang gapapa dilepas gitu?"
Tanya Jisung, ia khawatir jika Chenle tidak memakai masker oksigen itu dirinya akan kekurangan oksigen mengingat kesayangannya itu baru sadar.

Youth || jichenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang