5

7 2 0
                                    

Perempuan bersurai kecoklatan memandang buku bersampul neon begitu lama, ia ingin menuliskan sesuatu di sana namun tak sanggup. Inginnya mengutarakan isi kepala, tetapi raganya menolak. Beberapa minggu lalu, ia memberanikan diri mengirim pesan kepada seseorang yang sudah lama sekali nomornya tersimpan di dalam kontak selularnya. Kali pertama sejak mereka saling bertukar nomor kurang lebih tiga tahunan, saat ke duanya bertemu di seminar nasional yang diselenggarakan oleh salah satu kampus di kotanya.

Bertukar nomor tidak menjadikan mereka semakin dekat malah sebaliknya. Adam tidak ada niatan hanya sekedar berbasa-basi mengomen status atau say hello kepadanya. Hawa pun jadi tidak enak, semisal tiba-tiba dia chat aneh, si Adam jarang sekali update status. Kadang Hawa beranggapan kontaknya dihidden dari status Adam. Hawa bukan perempuan centil atau suka SKSD, sehingga mengidekan dia untuk menjadi stalker laki-laki itu, teman, bahkan sahabatnya tidak ada yang tahu.

Kini, ia seperti kehilangan harapan. Hawa tidak merasa patah hati, tetapi sebagian aktifitasnya terasa hampa, tidak ada penyemangat, karena orang yang membuatnya semangat sudah memiliki orang tercinta. Hawa sadar diri, ia harus berhenti menguntit Adam dan tidak lagi mengiriminya surat, toh surat terakhir yang ia kirim sudah dibaca oleh beberapa orang dan mereka semua tahu Hawa-lah yang menulisnya.

Hawa menutup buku hariannya, meletakkan di dalam kardus di bawah meja belajarnya. Ia mengambil ponselnya, mulai mengalihkan pikirannya tentang Adam dan fokus pada beberapa chat dari teman-temannya. Sebelah alisnya terangkat saat membaca sebuah pesan dari nomor asing, Dika? pikirnya. Hawa menepuk keningnya, Dika itu kan teman Nindi, tadi siang ia sendiri yang meminta nomor Dika, bodohnya ia sengaja tidak mengecek pesan dari Nindi.

Hawa membalas beberapa chat dari Dika, di tempat lain, Dika juga gercep membalas pesan Hawa. Lelaki itu sangat antusias saat Nindi mengenalkannya pada Hawa, dari foto yang dikirim oleh Nindi, Hawa terlihat manis dan kalem.

Sejak kemarin malam, Hawa mulai menaburkan social butterflynya. Ia bahkan sudah berkenalan dengan seseorang dari aplikasi dating. Ia memiiki tujuan sendiri yang tidak diketahui oleh Nindi dan Lani. Hawa ingin mengetes apakah hatinya masih berfungsi? Apakah ia mampu menerima kehadiran orang baru? Jujur, jika ditanya sebenarnya Hawa sangat mampu menerima kehadiran orang lain serta hatinya masih berfungsi kalau orang pilihannya itu adalah Adam.

Adam lagi!

Hawa menghela napas panjang, kenapa sih pikirannya harus Adam Adam mulu? Ia kesal dengan dirinya sendiri, sedaritadi chat dengan Damar dan Dika tapi pikiran masih melalang buana ke Adam. Satu pesan tiba-tiba menarik perhatiannya, bukan dari Damar maupun Dika, tetapi dari Haidan, koordinator kreatif dari paduan suara mahasiswa mengomen statusnya.

Satu lagi, orang yang tiba-tiba mulai berani muncul di pesannya adalah Haidan. Hawa merasa aneh, laki-laki itu memang dulu sering mengiriminya pesan, tetapi ia mengabaikan karena tidak penting. Dan, setelah itu dia tidak pernah sekalipun chat. Eh, akhir-akhir ini Haidan malah sering komen statusnya. Satu dua kali lah Hawa membalas, supaya tidak dikatain sombong gitu, toh tadi pagi juga dia nebeng sama Haidan.

Hawa jadi mempunyai rencana tambahan.

"Neng Hawa, ada kiriman!"

Hawa tersontak kaget mendengar teriakan dari luar rumahnya yang sangat keras. Ini efek keasyikan chat dengan para laki-laki. Ia pun keluar dari kamar dan berlari menuju pintu rumahnya.

"Eh?" Hawa menerima sebungkus makanan. Entah makanan dari siapa. Padahal dia tidak memesan. "Dari siapa, bu?" tanya Hawa pada ibu tetangga sebelah rumahnya.

"Gak tau neng, tiba-tiba bapak gojek samperin ibu, disuruh ngasih ke neng Hawa."

Hawa mengangguk mengerti, "terima kasih ya, bu, udah repot-repot ke rumah Hawa hehe."

Lelaki CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang