9

5 2 0
                                    


Hawa memandang takjub lautan manusia di depannya. Ia sangat pantas disebut sebagai anak rumahan yang tidak pernah pergi kemana-mana dan sekarang merasa syok melihat banyaknya remaja seumuran atau bahkan di bawahnya bersenda gurau menikmati suasana malam. Hawa mendadak cemas dan takut dengan keadaan sekitar. Takut kalau ada orang jahat yang tiba-tiba mengambil barang atau bahkan menculiknya? Ketakutan Hawa sangat tidak mendasar, efek dia yang tidak pernah keluar malam. Dika memperhatikan perempuan di sampingnya yang tiba-tiba diam dan terlihat tegang.

"Lo baik-baik aja, Haw?"

Hawa menoleh dan mendongak, ia menganggukkan kepala dengan senyum tipis setelahnya kembali menghadap ke depan lagi. Dika menaikkan alisnya, menunduk memperhatikan mimik wajah Hawa. Perempuan itu melirik dari ekor matanya sambil mengerutkan kening.

"Kenapa mandangin gue seperti itu sih?" Hawa bersidekap dan memposisikan tubuhnya menghadap sepenuhnya ke arah Dika.

"Lo kayak mau disidang. Liat muka lo tegang banget!" Dika menunjuk wajah Hawa dengan telunjuknya yang hampir saja mengenai pipinya, "apa ada yang lo takutin di sana?"

Hawa kembali melirik ke pintu masuk balai pemuda, ia mengerucutkan bibirnya. "Gue nggak expect bakal serame itu? Mau masuk aja antrinya sepanjang itu?"

"Ya kan ada guest starnya, makanya rame banget! Ayok dah kita ke sana, keburu mulai acaranya!" Tanpa persetujuan dari Hawa, Dika menggandeng tangan Hawa dan mengajaknya antri untuk masuk ke dalam area festival musik.

Hawa membeku, otaknya masih memproses sementara tubuhnya tidak ada penolakan. Dika mengoceh dan terus berjalan menuju antrean panjang dengan telapak tangan semakin erat menggenggam tangan Hawa yang begitu dingin. Dika mengerti kecemasan Hawa, Nindi sudah menceritakan tentang Hawa yang tidak pernah keluar malam kecuali dengan teman-temannya dan Nindi berpesan, jika ada perilaku Hawa yang terkesan aneh artinya Hawa sedang merasa cemas dan takut. Secara inisiatif, Dika pun menggandeng Hawa, supaya Hawa tidak merasakan cemas karena bertemu dengan banyak orang tak dikenalnya.

"Lo nggak pernah ke festival musik?" Kini mereka berdua sudah berdiri di antrean masuk. Hawa berada di depan Dika. Lelaki itu meletakknya kedua tangannya di pundak Hawa.

Hawa menggeleng. "Nggak pernah. Pernahnya ke pensi kampus aja. Lo sering ya?"

"Lumayan sih, buat hiburan aja biar gak stres haha."

Hawa mengangguk. Sejujurnya perasaan asing yang ia rasakan ini sangat mengganggunya. Masa iya bisa grogi hanya bersentuhan fisik dengan Dika? Otaknya seakan blank, ingin membalas perkataan Dika saja tidak sanggup. Dika memang tampan dan sangat wangi, beberapa perempuan di sekitarnya berkali-kali mencuri pandang ke arah lelaki jangkung yang berada di belakangnya.

Setelah setengah jam antre, mereka berdua masuk ke dalam area festival. Di dalam ternyata lebih rame lagi, bahkan orang-orang berdesakkan untuk bisa maju ke area paling depan. Di kanan dan kiri ada banyak penjual makanan dan minuman. Hawa semakin mulas, ia rasanya ingin muntah melihat banyaknya manusia. Dika menyadari perubahan mimik wajah Hawa, ia mengajak Hawa untuk minggir ke tepian.

"Lo sakit?" Dika mengecek suhu tubuh Hawa, tidak panas hanya saja keringat dingin membasahi pelipisnya.

Hawa menggeleng. "Gue nggak sakit, biasa ini gangguan kecemasan sosial. Gue kan jarang main ke tempat rame begini, rasanya gue pingin muntah aja hehe."

"Lo tunggu sini, gue mau beliin lo minum dulu!" Hawa akan menolak namun Dika sudah pergi terlebih dulu. Hawa meruntuki dirinya, ia malu banget sama Dika. Kencan pertama mereka justru memberikan kesan tidak menyenangkan. Hawa berharap Dika tidak kecewa dengannya.

Lelaki CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang