14

46 9 2
                                    

JANGAN LUPA DIVOTE CERITANYA YAAA
JANGAN MENJADI SILENT READER
KASIAN AUTHOR:(
.
.
.
"Dia yang menginginkan, atau dia yang kuinginkan?"

~(⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)(⁠ ⁠ꈍ⁠ᴗ⁠ꈍ⁠)~

Mesya berdiri panik dengan mulut terbungkam tak bersuara. Alasan pun belum ia dapatkan untuk saat ini. Ia memainkan jari-jemarinya untuk sekedar menghilangkan rasa gugup.

"Kenapa masih di sini? Di mana Kasih? Maksudnya ... Nara." Arthur bertanya setelah beberapa menit ia melihat Mesya masih berdiri tak bergerak.

Gadis itu belum juga membuka mulut untuk berbicara. Mulutnya seakan terkunci, berat untuk mengucap kata.

Arthur memandanginya heran. Merasa kesal ia pun menegurnya, "Hey!"

Sontak membuat Mesya menoleh kaget.

"Di mana temanmu?" Sekali lagi Arthur bertanya.

"Nara ... Nara ada kerja kelompok. Dia udah pergi buat ngerjain tugasnya," jawab Mesya beralasan.

Arthur menatap Mesya penuh kecurigaan, ia lalu melihat handphone-Nya. "Lima belas menit yang lalu dia chat saya, katanya lagi nunggu di luar. Dia nggak bilang kalau mau kerja kelompok," jelasnya.

"Ng ... iya. Tadinya Nara mau pulang, tapi teman-temannya ngajak ngerjain tugasnya hari ini. Begitu." Alasan yang dilontarkan diakhiri dengan senyuman seyakin mungkin.

Arthur tampak mengangguk paham. Namun tatapannya tetap masih mencurigai. Ia pun bertanya, "Jam berapa dia pulang?"

"Saya kurang tau, Om. Mungkin sore kali."

"Ya sudah, terima kasih." Arthur menutup kaca mobilnya, lalu mengirim pesan pada Nara, kemudian berlalu pergi.

Mesya bernapas lega. Tetapi, kepergian Arthur belum sepenuhnya membuat ia tenang. Masalahnya, ia berbohong tanpa ada kesepakatan dari Nara. Dan yang lebih penting, ia melupakan niatnya untuk meminta izin mengenai kepergian besok.

Sambil melangkah Mesya berdecak. Ia bahkan tidak tahu apa yang akan Nara katakan pada ayahnya nanti ketika pulang.  Mengingat itu ia segera merogoh handphone dari dalam tasnya. Panggilan telepon pada kontak 'Nara my twins' ia lakukan.

Untuk panggilan pertama dan ke-dua ia tak mendapat jawaban. Lalu panggilan ke-tiga ia coba lakukan, namun masih tetap sama. Percobaan terakhir dilakukan, berharap kali ini gadis itu akan menjawabnya. Namun justru nomor tidak dapat hubungi. Mesya pun kembali berdecak kesal. Kegelisahan itu membuatnya mendengus kasar.

Nara sengaja mematikan handphone-Nya. Ia pikir masalah akan lebih rumit jika ia menerima telepon dan Nesta mengetahui masalahnya. Ia takut Arthur akan terus menelponnya hingga akhirnya Nesta tahu semuanya. Tidak hanya itu, ia juga merasa tidak enak karena sekarang ini tengah mengobrol bersama Venny.

"Nesta memang begitu, kemauannya harus diikuti. Kalo enggak, semua barang di rumah habis. Makanya, saya menjadikan dia sebagai patokan hidup saya. Jika dia tenang, maka hidup saya juga tenang." Kalimat yang dilontarkan Venny cukup membuat Nara tersenyum simpul memahaminya.

"Tapi saya juga selalu mengatakan padanya, jangan menunjukkan sikap kamu di rumah, kamu tunjukkan juga di hadapan perempuan. Di rumah kamu diperlakukan, tapi di luar kamu harus memperlakukan. Saya nggak pernah lupa untuk menasihatinya tentang itu. Bagaimanapun, saya juga perempuan, saya tahu bagaimana harusnya laki-laki bersikap," lanjut Venny mengenai cerita anak tunggalnya.

Dinding Kampus (Mimpi dan Kasih) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang