(8) Do I Love Him?

141 14 4
                                    

"Apa kau masih kesulitan tidur?" Mirio Togata bertanya ketika sesinya bersama Izuku hampir selesai.

"Uh, entahlah, senpai."

"Kantung matamu mengatakan 'ya', Midoriya-kun."

Izuku mengusap tengkuknya.

"Aku akan membuat kopi. Kau mau teh atau mungkin susu?" Mirio berjalan ke arah meja counter kecil di pojok ruangannya dimana beberapa bungkus kopi, cangkir, sendok dan termos air panas berada.

"Tidak usah, senpai. Terima kasih."

"Baiklah, kalau begitu." Mirio mulai membuat kopi untuk dirinya sendiri. "Jadi, apa yang mengganggumu? Masih penyebab yang sama?"

Izuku mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Wajahnya terlihat sangat frustasi dari biasa. Masih berpikir apa perlu mengatakannya atau tidak pada Mirio.

Dia menghela napas sebelum memberanikan diri membuka suara, ".... Aku dicium oleh seseorang kemarin."

Mirio yang tengah menyesap kopinya hampir saja tersedak dan menyemburkan kopi yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Dia dengan cepat menoleh pada Izuku.

"Usiamu sudah 29 tahun, pengalamanmu dalam percintaan juga tidak nol, tapi sebuah ciuman masih bisa mengganggumu sampai tak bisa tidur dengan benar?" Mirio berjalan ke arah kursinya, meletakkan kopi di atas meja dan duduk menatap Izuku.

Izuku mengusap wajahnya frustasi. "Jika itu adalah pria, bagaimana mungkin itu tak mengganggumu?"

Kali ini Mirio benar-benar tersedak. Mata sipitnya melotot karena terkejut. Kemudian dia mencoba untuk memperbaiki ekspresi wajahnya dan berdeham.

"Jadi.... Seorang pria ya." Mirio mengetukkan jarinya pada cangkir kopi. "Apakah itu Bakugo-kun?"

Kali ini giliran Izuku yang tersedak. "Senpai, kenapa malah itu yang kau pikirkan? Maksudku.... Kenapa kau langsung mengira itu Kacchan?"

Mirio menelengkan kepalanya. "Oh, jadi bukan dia, ya?"

Izuku mengusak rambutnya. "Bukan.... itu orang lain."

"Ah... salah satu temanmu?"

"Oke, sampai sini saja, senpai. Jangan cari tahu lebih jauh lagi."

Mirio tertawa dan setelahnya menyesap kopinya.  Melihat wajah tersiksa Izuku karena ciuman sesama jenis itu cukup menghiburnya.

"Kau merasa jijik karena ciuman itu?"

Izuku menggeleng. "Aku tidak. Hanya saja, aku merasa bersalah karena tak bisa membalas perasaannya selama ini."

"Hm... jadi kau membiarkan orang ini menciummu karena perasaan bersalahmu?"

Izuku menopang dua siku diatas meja dan menutupi wajah dengan kedua tangan. "Kurasa begitu," katanya pelan. "Aku tak bisa membalas perasaannya, jadi kubiarkan dia merasakan apa yang ingin dia rasakan selama ini meski sedikit. Aku tahu aku gila, tapi setidaknya dia bisa berhenti berharap padaku dengan perasaan yang lebih tenang karena telah mendapatkan ciumanku."

Mirio menggoyang-goyang cangkir kopinya dan berkata, "Hm, kau memang gila ya."

".... Ya, begitulah. Tapi-" Izuku tak yakin apa harus benar-benar melanjutkan. Kenapa rasanya seperti sedang berkonsultasi tentang percintaan alih-alih kejiwaan? Tapi baginya tak ada jalan kembali. Jadi dia melanjutkan, "Masalah yang lebih rumit lagi adalah tentang pikiran yang memenuhiku saat dicium orang ini."

Kedua alis Mirio bertaut. "Apa itu?"

Izuku menghela napas. "Aku rasa aku memikirkan orang lain di tengah ciuman ini. Ah maksudku, ciuman sepihak ini."

Bear Your PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang