1. Kafe

549 57 30
                                    

Jika di dalam kehidupan bisa memilih untuk terlahir sebagai apa dan di keluarga mana, sudah tentu pemuda yang saat ini tengah mengganti pakaiannya, akan meminta sesuatu yang lebih baik dari sekarang.

Selama dua puluh tiga tahun, ia sering menanyakan pada dirinya sendiri, hal apa saja yang akan diterimanya seusai melewati hari-harinya.

Akankah kisah hidupnya seperti Cinderella, yang berakhir dengan cinta dari seorang pangeran?

Dirinya terkadang terkekeh geli, mengenai pikiran fantasinya. Hal tersebut tidak mungkin terjadi, terlebih lagi pada orang sepertinya.

Seorang pemuda lain, menyenggol lengannya saat ia mengunci laci loker.

"Rain, kamu akan langsung pulang?"

"Ya, seperti biasa. Anak-anak pasti sedang menunggu," jawabnya, sambil memasukkan kunci ke dalam tas punggung. "Kalau begitu, aku duluan, Phi Pai. Sampai jumpa," pamit Rain, melambaikan tangan kirinya.

"Baiklah, hati-hati Rain." Prapai membalas lambaian tangan Rain.

Pada saat Rain akan melangkahkan kakinya keluar dari dalam kafe, ia merasakan sesuatu yang membuatnya berbalik dan berjalan ke arah toilet.

"Kenapa aku ke sini? Aku tidak merasa sakit perut ataupun ingin buang air kecil, lalu apa?"

Rain membasuh mukanya dan berdiam diri, menatap dirinya di cermin.

"Tunggu, aroma apa ini. Bukankah itu ...?" Ia mengedarkan pandangannya di ruangan, tetapi tak ada seorang pun di sana. Sampai sebuah geraman mengejutkannya.

Rain melihat seorang pria keluar dari salah satu bilik toilet dengan tertatih, bersama aroma yang tadi ia hirup.

Pria dengan setelan kemeja dan celana berwarna hitam, berjalan sambil memegangi dinding. Tetapi, tubuhnya berangsur-angsur turun ke lantai.

Meski ragu, entah mengapa bagian dalam dirinya menarik diri dari rasa takut, agar mendekat pada pria di hadapannya.

"Phi, apakah kamu bisa mendengarku? Phi?" Rain menepuk-nepuk bahu pria itu, berusaha menyadarkannya.

Dia mendongak, mendengar satu-satunya suara yang dapat didengar, dalam kondisinya. Kilatan cahaya dari matanya begitu tajam saat ia menatap Rain.

"Omega ... Omega-ku," lirihnya, sambil menangkup pipi Rain.

Rain melepaskan dirinya, agak menjauh darinya.

"Phi, siklus rutmu datang? Ini berbahaya, apakah kamu membawa suppressant dan di mana Omega-mu? Kamu membutuhkannya sekarang," cecarnya, pada pria yang hanya menggeram.

"A–aku, tidak membawanya dan aku tidak mem ... arghh!"

Geramannya kembali terdengar dan lebih nyaring. Rain dibuat bingung oleh orang tersebut.

"Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku juga tak membawa obat itu," gumamnya.

Rain keluar dari toilet, meninggalkannya beberapa detik. Lalu kembali dengan dua minuman botol berukuran sedang di tangannya, ia menuangkan minuman tersebut ke seluruh tubuh pria itu.

"Maaf, aku harus melakukan ini. Aku tidak bisa membantumu, jika aroma itu terus masuk ke hidungku," kata Rain.

Ia memapah tubuh yang lebih besar darinya.

Keduanya mendapat tatapan heran, dari beberapa pelanggan dan juga pelayan yang bertugas.

"Rain, siapa dia dan mengapa kamu memapahnya?" tanya Prapai, ia melepas apron berbahan kulit dan membantu Rain keluar dari kafe, hingga masuk ke dalam taksi.

LOVE GEOMETRY ⊹⊹ OMEGAVERSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang