XII. This Rain

76 3 1
                                    

Doble Update to you, sweetheart

_________
Happy Reading
_________

Ruangan yang gelap dan dingin itu sangat sunyi. Sangking sunyinya, suara tetesan air hujan di luar sana dapat membayangi siapa saja yang berada dalam ruangan itu. Terlebih hanya bunyi tikus dan serangga-serangga kecil yang menemani dinding sel penjara yang saat ini tengah mengurung seseorang.

Pria, pria tua, dengan kaki yang di pasung dan wajah penuh bekas luka dan tak lupa juga kedua tangannya sama-sama di ikat oleh rantai yang kian waktu kian memunculkan bau besi berkarat.

Pintu masuk ruang bawah tanah yang sudah setengah tahun ini tertutup kini terbuka kembali dengan sesosok tubuh kekar yang akan menjadi malaikat pencabut nyawa pria tua itu. Oh, dia bahkan sudah berkali-kali berdoa agar Tuhan mencabut nyawanya saja daripada ia harus berhadapan dengan orang ini. Namun seakan mengerti doanya, orang tersebut selalu menyembuhkannya setelah ia memberikan rasa sakit ditubuh pria tua itu.

"Apa kabar, paman?" Seringai mengerikan muncul di balik wajah tegas seorang malaikat pencabut nyawanya. Apalagi dengan sedikitnya cahaya yang mampu menerangi ruang lembab ini.

"Apa maumu, Regif? cepat katakan!" Yah, pria tua itu tak ingin berlama-lama dengan lelaki psikopat ini.

Satu hal yang tak pernah orang lain tahu, bahwa dibalik kesempurnaan yang dimiliki oleh seorang Azheef Regif, dia juga memiliki sisi yang akan membuat korbannya memohon kematian. Memang apalagi yang bisa diharapkan oleh pahlawan perang bengis ini, tak ada celah untuk mengusiknya, kecuali ia memang sengaja memasang perangkap.

"Wow, kenapa kau marah, paman? Aku kan hanya menanyakan kabarmu." Azheef lagi-lagi tersenyum pada pria yang ia sebut sebagai pamannya itu. Paman, yang dua belas tahun lalu mengirimnya ke medan perang untuk pertama kali, berkat itu sekarang ia dikenal dengan pahlawan perang. Entah harus berterima kasih atau tidak, yang jelas Azheef selalu membencinya.

Kali ini ia membuka pintu sel yang mengurung pamannya itu, mendekatinya dan duduk berjongkok di depannya.

"Mau bermain sesuatu yang menyenangkan, paman?"

"Berhentilah, Azheef! Jika yang kau inginkan adalah balas dendam atas kematian kedua orang tuamu bunuh saja aku sekarang! Kenapa kau terus menyiksaku?" teriakan amarah yang lebih terdengar seperti frustasi terdengar dari pria tua itu.

"Oh, ya? Haruskah aku berhenti?" Tanya Azheef bermain-main, sekarang ia sudah mengeluarkan belatinya dan menempelkannya ke wajah pamannya itu.

Dinginnya benda tajam yang berada di wajahnya, membuat pria tua itu gemetar tak karuan karena ia tahu apa yang akan dilakukan oleh keponakannya saat ini.

"Maka rasakanlah kematian itu berkali-kali," amarah tiba-tiba menguasai Azheef dan saat itulah ia mulai menusukkan belatinya pada pundak pamannya.

Teriakan dan air mata yang di keluarkan pria tua itu tak mengindahkan apapun yang sedang Azheef lakukan pada tubuhnya. Ketika satu persatu sisi tubuhnya merasakan rasa sakit, ia hanya bisa membayangkan kematian. Namun, saat matanya mulai terpejam karena rasa sakit yang teramat guyuran air di tubuhnya lagi-lagi membawanya pada kesadaran. Dia belum mati.

"Kau sudah membunuh kedua orang tuaku, paman. Bahkan dengan cara yang tak pernah mereka duga-duga, apa kau tidak malu? Demi tuhan, mereka bahkan selalu berada disisimu disaat masa terburukmu." Azheef berteriak dengan kalimat yang selalu sama ketika pria tua itu sudah hampir kehilangan kesadarannya. Selalu kalimat itu, hingga merasuk dalam ingatannya. Dia menyesal, lebih menyesal lagi karena dia justru menyepelekan orang dihadapannya ini.

"Kau sudah sadar? Maka akan ku pastikan bahwa kau selalu sadar sampai aku mati!" teriak Azheef lagi.

Azheef mundur dan pergi dari ruang bawah tanah itu dan menemukan Sergio yang setia berdiri di luar. Ia menatap ajudannya itu dengan dingin, "sembuhkan dia, jangan sampai dia mati!" keputusan itu telak, hingga Sergio pun lebih memilih untuk mengangguk dan membiarkan suara hujan menjawab atasannya itu.

***

Hujan yang mengguyur tubuhnya meluruhkan darah-darah yang menempel ditubuhnya. Pria itu diam dan memandang dengan mata kesakitan pada hamparan taman yang dulunya berisi tawa ibunya. Dulu ia selalu bermain di sini dengan pelayan, lalu ibunya akan tertawa melihat tingkahnya sembari meminum teh. Sungguh, sebuah kenangan.

Azheef mengepalkan tangannya dan beralih menatap langit kelabu yang sedang menurunkan air, begitu kesakitan, begitu kesepian. Ia selalu merasa kosong dan kerap kali bertanya-tanya, benarkah apa yang sudah ia lakukan saat ini?

Dan di saat ia kembali menatap hamparan taman, saat itulah ia dapat melihat sesosok wanita yang berlari ke arahnya dengan membawa payung. Azheef terkekeh, lagi-lagi tak bisa menebak jalan pikiran wanita itu.

***

"Apa yang kau pikir kau lakukan, Duke?" tanya Claudia setelah ia berhasil membawa masuk pria di hadapannya ini. Hujan masih membara di luar sana dan Claudia dapat melihat bekas darah yang tampak memudar di baju Azheef.

"Kau terluka?" Tanyanya sembari menyentuh dada pria itu yang memiliki noda darah, sebelum kemudian tangannya di cengkram oleh pria itu.

"Kenapa kau kemari?" Dibandingkan menjawab pertanyaan Claudia, ia lebih tertarik dengan cerita Claudia yang bisa berada di sini.

"Astaga, inikah jawabanmu?"

"Jawab saja pertanyaanku!" desak Azheef.

"Yah, sepertinya kereta kuda tuan putri rusak lagi." Jawab Claudia acuh tak acuh. Itu sebenarnya hanya alasan tidak jelas yang ia keluarkan. Sebenarnya ia hanya ingin mengunjungi kediaman Duke dengan alasan memberi tahu acara pertunangan Kakaknya yang akan diadakan lusa. Namun, sepertinya itu juga alasan yang konyol mengingat undangan sudah pasti akan datang sendiri ke kediaman Duke.

"Benarkah? Lalu kemana penjagamu?" Heran Azheef.

"Keretanya sudah benar sebenarnya, namun aku kehujanan jadi aku kemari. Lihatlah di luar sana, mereka kehujanan juga," menunjuk pada para pengawalnya yang sudah meneduh.

Lalu tawa lebar lolos dari bibir Azheef melihat keadaan sang putri yang sudah seperti bebek berenang, benar-benar basah kuyup. Nyatanya payung kain yang ia pakai tak bisa membantu banyak.

Di tertawakan begitu membuat Claudia memandang Azheef dengan kesal, bisa-bisanya pria ini tertawa di atas penderitaannya. Namun, satu hal yang Claudia sadari adalah Azheef terlihat begitu menawan dengan tawanya, sehingga ia tersenyum senang di dalam hati.

"Kemarilah, kau harus berganti baju jika tidak ingin sakit." Tarikan di tangannya membuat Claudia sadar bahwa ia sudah cukup lama memandangi Azheef.

Apa-apaan ini? Ia memandangi pria itu? Semoga saja pria itu tidak sadar.

Claudia membiarkan saja ketika Azheef menuntunnya ke salah satu kamar dan meminta pelayan untuk melayaninya.

Huft, tawa Azheef tadi sebenarnya masih membekas dalam ingatannya.

***

TBC

Published on Jul, 23-2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Duke's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang