09

119 17 3
                                    

Part lebih panjang dari sebelumnya.
Many typo!!
.
.
.

Liam menghempaskan bokongnya dengan kesal di pinggiran kasur. Dadanya naik turun dengan nafas yang tersengal-sengal, sisa-sisa amarah masih terasa panas di dalam dirinya.  Pandangannya kosong, tertuju pada dinding kamar yang polos. Kepalanya masih dipenuhi dengan percakapan yang baru saja terjadi, percakapan yang membuatnya geram hingga rasanya amarahnya hampir naik pitam.

"Hotel ini milikku!"

kata-kata khun Tanaka masih bergema di telinganya, membuat darahnya mendidih.  Liam menggeram, tangannya mengepal erat.

"Dasar pria tua bangka! Berani-beraninya dia mengklaim hotel milik Papiku?!"

Liam bangkit dari duduknya, berjalan mondar mandir dengan gelisah sambil menggigiti kuku jarinya.

"Liam--" Ucapan Jayden terpotong oleh Liam.

"Kau lihat tadi Om? kau dengar apa yang diucapkan oleh si tua bangka itu? kau lihat juga kan putri sialannya itu hampir menamparku?" tanya Liam dengan menggebu-gebu, dan Jayden hanya bisa mengangguk ragu.

"Brengsek! berani-beraninya dia berbicara seperti itu?! hotel ini milik Papiku, om. Papi yang membangun dan mengurusnya dari 0 hingga bisa seterkenal sekarang. Dan bagaimana bisa si tua bangka yang hanya bisa menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena itu mengklaim bahwa hotel ini miliknya?!!"

"Aku masih tidak habis pikir dengan apa yang baru saja ia katakan tadi" nada Liam mulai merendah namun wajahnya semakin memerah.

Liam kembali mendudukkan dirinya di sofa kamar dengan kasar, terdiam sejenak namun pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa yang membuatnya marah. Bahkan kini tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Dengan pelan Jayden mendekati Liam, tangannya dengan ragu meraih tangan Liam untuk ia genggam, membuat sang empu sontak menoleh kepadanya.

Liam terpanah pada apa yang ada di hadapannya kini, ini sudah hari keenam mereka bersama namun baru kali ini Liam melihat sebuah senyum terbit dari bibir Jayden.

"Tenangkan diri anda Liam, bertindak saat sedang marah adalah seperti mengendarai mobil dengan mata tertutup. Anda bisa saja menabrak sesuatu yang tidak anda inginkan"

Jayden menatap Liam dengan penuh pengertian. Ia tahu betul bagaimana sulitnya menahan amarah, apalagi ketika dihadapkan oleh situasi yang tidak adil seperti yang Liam alami.

Jayden mengelus tangan Liam yang masih terkepal kaku, membawa tangan itu untuk diletakkan ke atas pahanya. Ia mencoba membuka kepalan tangan itu dengan perlahan, hingga Liam mulai melepaskan genggamannya. Namun saat telapak tangan Liam mulai terbuka, Jayden mendapati darah segar di telapak tangan Liam.

"Liam, tanganmu..." Jayden mengerutkan kening kala melihat telapak tangan Liam yang terluka.

Tampaknya kuku-kukunya menancap terlalu dalam ke telapak tangannya saat ia menggenggam tadi, hingga meninggalkan goresan merah yang cukup dalam dan mengeluarkan sedikit darah.

Liam yang tersadar langsung tersentak, ia menarik tangannya dengan cepat. 

"Maaf, aku tidak sengaja, sepertinya aku terlalu kuat mengepal." cicit Liam menyembunyikan tangannya.

Jayden segera merubah ekspresi terkejutnya, kembali membawa tangan Liam untuk ia letakkan diatas pahanya. Lagi-lagi ia mengelus telapak tangan Liam dengan lembut. Tanpa kata ia kembali membuka kepalan tangan Liam, kali ini dengan lebih hati-hati.

Liam melepaskan kepalannya, napasnya masih tersengal-sengal. Namun kini tatapannya mulai menyendu, menatap fokus pada Jayden seolah mencari ketenangan di tengah badai emosi yang sedang ia rasakan.

Finally FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang