Matahari semakin terik. Menyingkap awan-awan gemuk yang sejak pagi bergerumul di sudut-sudut langit. Kelabu menepi, hujan tak jadi datang.
Ramainya pagi itu membuatku seketika berhenti melangkah. Aku memutar badan, lalu menatap pada kejauhan. Di antara keramaian itu, aku menemukan Rebecca tengah melambaikan tangan. Tinggi sekali. Seolah ingin memperjalas bahwa ia tidak akan beranjak sampai bus yang aku tumpangi itu hilang dari pandangannya. Senyumnya merekah, sementara iris mata birunya persis seperti hari yang berlangsung saat ini.
"Hati-hati di jalan!" Gerak bibir itu berbisik. Meski aku tak mendengar suaranya, ucapan itu tetap sampai, dan aku merasakannya dengan sebelah dada yang berdegup kencang. Padahal rinduku belum habis, tetapi aku sudah harus pergi jauh lagi.
Aku harus bergegas. Kondektur sudah berseru, meminta semua penumpang untuk segera naik ke dalam bus. Suara pekikannya yang lantang dan berisik itu membuat langkah kakiku menjadi terasa berat padahal ini bukan perjalanan pertamaku. Namun, setelah aku menoleh ke belakang dan melihat senyum itu, sepasang kakiku tiba-tiba sukar melangkah. Sayangnya, mau tak mau aku harus beranjak. Naik ke atas bus dan berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Ah, dulu aku benci sekali terjebak dalam situasi seperti ini. Akan tetapi, lama-kelamaan aku menjadi terbiasa, lalu dengan begitu saja berbaur bersama banyaknya manusia menjadi sebuah rutinitas.
Aku sudah duduk di kursiku hampir 30 detik. Kursi-kursi yang ada juga nyaris penuh, sementara sisa kursi kosong sedang diincar pemiliknya yang bergegas dari kejauhan. Tergopoh-gopoh dengan lambaian tangan, berharap dia tidak buru-buru ditinggalkan. Lihatlah raut-raut wajah itu, nampak lelah dan penuh beban—mungkin sama beratnya dengan barang-barang yang mereka bawa saat ini. Sementara di seberang sana, Rebecca masih menunggu. Senyumnya tak berubah, begitu juga dengan tatapannya. Tatapan yang sepertinya, akan kembali aku saksikan hanya dari layar kaca.
"Kenapa dia masih nunggu di situ?" batinku, kemudian merogoh ponsel dari saku jaket. Mengirim beberapa pesan singkat untuk gadis kesayanganku itu.
To Anggora: Nggak usah nungguin aku
To Anggora: Kamu langsung pulang aja
To Anggora: Motornya kamu bawa aja nggak pa-apa
To Anggora: Biar nanti diambil sendiri sama Cetta
From Anggora: Aku tungguin sampe busnya berangkat
To Anggora: Masih lama
From Anggora: Nggak pa-pa hehehe
From Anggora: Aku yang pengen nunggu
Jawaban gadis itu justru membuatku terpaku. Sepasang mataku mendadak jadi gamang melihat sosoknya yang masih saja berdiri di sana. Dengan ragu, aku menatap ke sekeliling. Kursi penumpang sedikit lagi penuh. Kalau aku beranjak sekarang, aku masih punya waktu, 'kan?
"Bang, tunggu bentar yak!" Pada akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkan kursiku dan kembali turun dari bus. Menghampiri kondektur yang sibuk bergulat dengan hawa panas.
"Mau kemane? Bentar lagi tancap gas ini," ucapnya, dengan logat betawinya yang khas.
"Kencing dulu."
"Aelah, Tong! Ya udah, tapi jangan lama-lama."
Aku berlalu cepat. Aku tak benar-benar ingin kencing sebenarnya. Ada sesuatu yang mengganjal di benakku dan rasanya seperti akan memberat jika aku memutuskan untuk pergi tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, aku harus menunaikannya supaya tak menjadi beban pikiran sepanjang jalan.
Sepasang kaki jenjangku terayun. Melambung tinggi dan cepat. Menghampiri kekasihku yang justru menatap kedatanganku dengan sorot mata bingung. Pangkal-pangkal alisnya nyaris bertemu, dan raut wajah itu terlihat lucu sekali.
"Kenapa? Ada yang ketinggalan?" tanya Rebecca, begitu aku berada cukup dekat di hadapannya. Hela napasku memburu, sedangkan sudut-sudut bibirku terangkat tinggi.
"Ada," jawabku, disela-sela hela napas yang masih tersengal.
"Apa?" Dan dia kembali menatapku dengan raut wajahnya yang menggemaskan itu.
Demi Tuhan, rasanya ingin sekali kulahap pipinya yang mirip bakpao itu. Alih-alih menjawab, aku justru mendekat. Mengikis jarak di antara keramaian yang menenggelamkan kami.
Sementara di hadapanku, Rebecca terpaku. Aku tak berharap banyak dari pertemuan sekaligus perpisahan hari ini. Aku cukup senang saat dia mau mengantarku ke terminal dan menemaniku sampai bus yang kutumpangi berangkat. Sayangnya, aku tak bisa membiarkannya pergi tanpa memberinya sesuatu yang manis. Jadi, di antara keramaian terminal yang memeluk kami pagi itu, aku mengecup bibirnya. Sekali, dua kali, tiga kali, sebelum akhirnya melumatnya dengan lembut di kecupan keempat.
"Belum dicium," ucapku, kemudian terkekeh saat menemukan semburat merah muda di sepasang pipinya yang selembut kapas itu. "Sekarang udah, jadi aku bisa pergi."
"Lagi!" serunya tiba-tiba.
"Apa?"
"Pipi kanan, pipi kiri, kening, mata, hidung? Terus di bibir harusnya dua kali!"
Lagi-lagi, raut wajah itu membuatku terkekeh gemas. Suara Rebecca yang merengek membuatku tak mampu untuk menolak. Dengan cepat, aku mengecup sisi-sisi wajah gadis itu, lalu menyapukan bibirku dengan lembut di sepasang mata, kening, hidung, yang kembali jatuh pada bibirnya yang entah sejak kapan ... selalu menjadi favoritku.
"Udah?" ledekku, hanya untuk membuat Rebecca mengangguk malu-malu. Lucunya!
"Udah, sana pergi!"
"Sekarang diusir?"
"Itu udah ditungguin!" serunya, dengan ringan mendorongku untuk menjauh.
"Ya udah, aku berangkat ya!" pamitku kemudian.
"Hati-hati di jalan."
"Iya, kamu juga."
Lantas, kami melambaikan tangan. Menyibak keramaian yang ada di sekeliling kami. Dalam langkah-langkah yang terjalin siang itu, Rebecca berteriak, "Kak! Nanti kita ketemu lagi ya!"
Tentu saja, kita harus bertemu lagi. Mungkin tak hanya di hari-hari yang cerah seperti hari ini. Bisa jadi, di pertemuan kita berikutnya, mendung datang bergulung-gulung dan hujan turun deras setelahnya. Namun, bagaimanapun dunia ini berlangsung, Sayang, kita harus lagi bertemu. Harus.
To Anggora: Maaf, tadi aku belum sempat bilang
To Anggora: Hari ini kamu cantik
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin SEASON 2 [PREVIEW]
Teen FictionDengan segala keterbatasan, Kin Dhananjaya memulai perjalanan untuk mencari tahu arti sebuah kedewasaan. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari rumah dan memulai kehidupannya sendiri-di sebuah kota yang akhirnya kembali mempertemukannya den...