"Jadi ibunya langsung pergi gitu aja?"
Aku mengangguk, lalu melirik ke arah layar ponselku yang memperlihatkan wajah kesal Rebecca. Jemarinya yang baru saja akan mengoleskan pelembab itu seketika tertahan di udara. Keningnya mengernyit, sementara mata birunya itu sedikit melotot.
"Dih, kok gitu? Kan yang nabrak anaknya," gerutunya, kemudian melanjutkan agendanya bersama berbotol-botol skincare itu. Dia pernah menyebutkan jenisnya beberapa kali, tetapi aku tak begitu ingat, "Terus tangan kamu sekarang gimana? Udah diobati?"
"Udah, pas mau pulang mampir ke klinik bentar. Nggak parah, kok, cuma kegores doang," ucapku. Dengan senyum lebar, aku mengangkat telapak tanganku dan memperlihatkan padanya bagaimana keadaan lukaku sekarang.
Lukanya masih merah dan basah membuat Rebecca memerhatikannya dengan raut wajah ngeri sekaligus sedih. Ekspresi yang sama ketika dia melihat luka jahit di telapak tanganku dulu. Ah, aku bahkan baru menyadari itu. Luka yang aku terima hari ini, berada di tempat yang sama seperti luka waktu itu. Dan entah bagaimana, keberadaannya membuatku tertawa gamang tanpa sadar.
"Ih, coba aja kalau ada aku di situ," gerutunya, yang kontan membuatku kembali terkekeh.
"Mau ngapain emang?"
"Aku kejarlah, enak aja! Jangan mentang-mentang anak kecil, jadi bisa seenaknya kayak gitu. Kalau salah ya harus minta maaf. Udah bikin orang celaka juga nggak dibantuin sama sekali."
"Mungkin ibunya panik soalnya anaknya nangis kenceng banget," pungkasku.
Rebecca tak berkomentar lebih jauh setelah itu. Ketika aku menoleh ke arah ponsel, dia terlihat sedang mengoleskan sesuatu ke wajahnya, sementara aku masih disibukkan membuat makanan di dapur. Padahal sekarang sudah pukul 12 malam, tetapi perutku sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Seblak dan beberapa makanan ringan yang aku beli di Dago tadi rasanya seperti pengganjal saja. Kalau sudah kelaparan seperti ini, sudah bisa dipastikan bahwa aku tidak akan bisa tidur nyenyak.
Sebelum pergi dari rumah, rasanya tidak ada satu hal pun yang bisa aku lakukan dengan baik. Dan pergi jauh dari rumah adalah awal dari perubahan hidup itu sendiri. Aku mulai belajar untuk tak mengandalkan orang lain. Jika dulu ada Mas Nana yang sering kubangunkan untuk membuat Indomie, sekarang aku hanya memiliki diriku sendiri. Aku pernah menjadi tak biasa dan bingung pada banyak hal yang ada di sekelilingku. Tentang bagaimana cara mengganti gas, tentang bagaimana cara mencuci baju yang benar, atau berbagai hal sepele yang seharusnya lumrah untuk dilakukan. Bagiku, itu sulit. Perlu waktu lama untuk akhirnya terbiasa dan menjadi bisa.
Menjadi jauh dari rumah juga terkadang memberikan tantangan yang mengejutkan. Di bulan-bulan pertama tinggal di kontrakan, aku tidak tahu bagaimana cara mengatasi listrik yang konslet. Aku juga tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa karena memang belum ada siapa pun yang aku kenal di lingkungan ini. Mau tak mau, aku harus mencari tahunya dan belajar memperbaikinya sendiri. Walau risikonya, aku berakhir kejang gara-gara tersengat listrik. Untungnya, aku tidak mati.
Tak hanya itu, tinggal seorang diri juga membuatku tersadar bahwa mengatur keuangan juga menjadi persoalan yang riskan. Sedikit saja aku menuruti ego, bisa dipastikan di bulan berikutnya aku tidak bisa makan.
Sesekali dengan sedikit kurang ajar, aku masih bisa memintanya pada kakak-kakakku. Mungkin antara 100 hingga 200 ribu untuk jajan satu pekan. Namun, dewasa ini aku cukup tahu diri untuk tidak merepotkan mereka lebih jauh. Biaya kuliahku saja mahalnya bukan main, jadi aku tak ingin membebani mereka dengan tingkah kekanak-kanakanku lagi. Sekali atau dua kali dalam sebulan, aku bisa menuruti egoku dalam batas yang wajar. Namun, di fase berikutnya, aku harus mengaturnya lebih ketat lagi supaya aku tidak kebablasan dan keuanganku menembus batas limit. Saking inginnya hidup teratur, aku sampai membeli buku kas demi mencatat semua pemasukan dan pengeluaran yang aku lakukan. Tentu, keluargaku tidak tahu betapa aku berusaha keras selama ini. Aku hanya tidak ingin mereka menertawakanku karena aku mendadak menjadi Kin Dhananjaya yang super disiplin.
![](https://img.wattpad.com/cover/373707663-288-k788659.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin SEASON 2 [PREVIEW]
Teen FictionDengan segala keterbatasan, Kin Dhananjaya memulai perjalanan untuk mencari tahu arti sebuah kedewasaan. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari rumah dan memulai kehidupannya sendiri-di sebuah kota yang akhirnya kembali mempertemukannya den...