BAGIAN 6

1.9K 279 32
                                    


Temaramnya langit Kota Bandung diam-diam mengirim angin sejuk ke tengkuk dan sela-sela rambutku. Udara dan keramaian ini, aku menyukainya. Aku mulai jatuh cinta pada setiap kehidupan di usia 20 tahunku. Biasanya, setiap keramaian yang berlangsung selalu membuatku kesepian. Rasanya seperti, orang lain memiliki kehidupan, sementara aku tidak. Di antara keramaian itu, aku selalu menjadi satu-satunya yang bisu—seolah dunia ini meninggalkanku sendirian di kehidupan yang serba buru-buru.

Sore ini, ramainya Dago tak lagi membuatku kesepian. Pada akhirnya, aku membaur dalam kehidupan yang ramai itu. Sambil sesekali menerka-nerka, di sekelilingku saat ini, adakah yang justru merasa kesepian? Persis seperti diriku di masa lalu. Seseorang yang merasa bahwa dunia ini tak memihaknya sama sekali. Dunia yang akhirnya meninggalkan dia yang tak bisa terburu-buru seperti manusia-manusia lain. Mungkin saja ada, di sudut tempat yang tak semua orang bisa melihatnya. Sebab, dulu aku pun begitu. Tak banyak yang bisa melihat kesepianku, bahkan ketika aku berteriak ratusan kali dan memohon untuk diselamatkan, tak ada yang mendekatiku dan menyelamatkanku dari lorong kesepian itu. Sebab, rasa kesepian yang manusia miliki, selalu bergaung dalam lorong-lorong pikiran mereka yang sunyi, tetapi sesak di saat yang bersamaan.

"Ini ... bukan foto hasil nyomot dari Pinterest, 'kan?" Sepasang alis Kassy menukik saat aku menunjukkan foto Rebecca dari ponselku. Rebecca Izumi memang secantik itu. Mungkin kalau aku jadi mereka, aku pasti tidak akan semudah itu untuk percaya bahwa perempuan dengan mata berwarna biru itu adalah kekasihku.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku menggedikkan bahu. Hal tersebut berbarengan dengan Adam yang sigap meraih ponselnya dan menjepret sesuatu dari ponselku. Firasatku, anak itu pasti mengambil foto Rebecca untuk dia telusuri di pencarian Pinterest. Ya, silakan cari saja sampai dapat. Kalian pasti tidak akan menemukannya di sana karena foto itu dikirim langsung oleh Rebecca. Yang aku yakin sekali, gadis itu hanya mengirimkan fotonya padaku.

"Kagak ada njir. Ini beneran cewek lo?" tanya laki-laki itu.

Karena malas ditodong pertanyaan yang itu-itu saja, aku memilih untuk diam. Tak ada satu kalimat pun yang tersembur dari bibirku setelah itu, sementara mereka sibuk menelisik betapa manisnya Rebecca dalam foto itu. Meski aku sebenarnya tak ingin banyak bereaksi, nyatanya aku menarik sudut-sudut bibirku tanpa sadar.

"Matanya emang beneran begini?" timpal Sakti, tepat saat aku baru saja menenggak minumanku, jadi aku hanya meliriknya tanpa mengatakan apa pun.

"Cewek lo blasteran?" tambah Bian, sedangkan aku hanya menjawab pertanyaannya dengan anggukan ringan, sepertinya aku mulai kehabisan energi untuk menghadapi para ekstrovert ini.

Entah sejak kapan, tetapi rasanya aku mulai terbiasa dengan kehidupan yang ramai seperti ini. Walau aku paling suka menjadi sendirian, kenyataannya aku tak merasa sukar setiap kali ada mereka. Ada waktu-waktu di mana aku kesal dan tak ingin diganggu oleh siapa pun, tetapi jika mereka datang ke rumah dan bertingkah seenak jidat, aku tak merasa keberatan sedikit pun. Entah harus dengan bahasa apa lagi aku harus menjelaskan, tetapi yang jelas, mereka adalah manusia berisik yang selalu menjadi favoritku. Walau sesekali aku ingin menempeleng kepala mereka dan menendang mereka hingga jauh ke Neptunus.

"Gileee, abis menyelamatkan dunia sebelah mana lo dapet bidadari blasteran model—tadi lo bilang siapa namanya?" Tak mau kalah, Margo juga menyahut. Wajahnya mendadak sumringah, terlebih saat dia menggeser foto itu untuk memperlihatkan foto-foto lainnya.

Sejenak, aku menarik napas panjang. "Rebecca Izumi, dan gue juga blasteran ya, Monyet!" cibirku, lalu melirik ke arah mereka dengan pandangan bengis.

"Edannn, blasteran," timpal Sakti. Lengkap dengan gelak tawanya yang menggelegar, sementara yang lainnya menyambut ucapan Sakti dengan gelak tawa yang sama.

Extraordinary Kin SEASON 2 [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang