BAGIAN 3

2.1K 277 15
                                    

Dalam pekatnya malam, Bandung menyelipkan angin dingin di sela-sela rambutku. Dan masih di malam-malam dingin berikutnya, lagi-lagi rumah kontrakanku dipenuhi manusia-manusia krisis ekonomi. Kenapa mereka nggak sekalian kos di sini dan membayarku 600 ribu per bulan? Mereka selalu numpang hidup di sini hanya gara-gara aku yang selalu punya persediaan mi instan dan telur.

"Besok-besok kalian pindah ke sini deh," ucapku, setelah meletakkan sepanci besar mi rebus di lantai. Oh, momen ini tiba-tiba membuatku déjà vu.

"Emang boleh?" Margo jelas menjadi orang pertama yang menoleh dengan antusias. Matanya yang mirip pecandu narkoba itu sampai melotot tak percaya ke arahku, sementara yang lainnya menunggu jawabanku dengan harap-harap cemas. Dasar manusia-manusia tidak tahu diri!

"Boleh, tapi bayar 600 ribu per bulan sama gue," jawabku, hanya untuk membuat mereka melenguh penuh dengan kekecewaa, "nggak ada yang gratis di dunia ini anjir! Ya jelas bayarlah!" pekikku dengan suara yang cukup lantang.

"Yeu, itu sih sama aja," timpal Adam, si manusia paling galau hari ini, "bersedekahlah, Kin, sama manusia-manusia fakir seperti kami. Kan cuma lo doang di sini yang finansialnya paling stabil."

"Finansial gue stabil karena ada emak sama abang-abang gue yang kerja bagai kuda ya, Dam. Nggak usah mengada-ada lo," semburku, tetapi sepertinya Adam dan yang lain berusaha untuk tidak peduli. Mereka justru berebut mi instan yang baru saja aku letakkan di atas lantai.

Ada Sakti dan Bian yang turut bergabung bersama kami malam ini. Pertemuan ini tiba-tiba saja diadakan atas ide Adam yang katanya mulai merasakan tanda-tanda depresi akibat putus dari pacarnya yang katanya cantik mampus itu. Mana ada cowok galau yang makan mi instan sampai habis dua mangkuk? Setelah itu, cerita dimulai saat Adam meletakkan mangkuknya yang telah kosong di lantai. Alih-alih minum, dia justru menyalakan sepuntung rokok dan menyedotnya dalam-dalam.

Suara pemantik yang kasar sempat menyela dalam keheningan. Begitu aku menoleh, raut wajah Adam nampak begitu suram, sepertinya beberapa hari ini dia tidak tidur dengan nyenyak. Terbukti dari nampaknya bayangan hitam di bawah matanya. Dengan suntuk, laki-laki itu mengembuskan asap rokoknya dengan kasar, melepaskannya untuk berbaur pada udara dingin di sekeliling kami.

"Gue sampai nggak habis pikir. Gue kurang apa coba?" ungkapnya dengan sendu.

"Kurang duit itu mah," sahut Sakti, yang langsung kami sambut dengan gelak tawa meriah.

Entah kenapa, menertawakan kesedihan seorang teman dekat terasa sangat menyenangkan, terutama saat Adam mulai menatap kami dengan pandangan sengit. Aku tahu anak itu sedang patah hati, tetapi dilihat-lihat dari kelakuannya selama ini yang mudah sekali menggoda gadis-gadis di fakultas lain, kurasa patah hatinya itu tidak akan bertahan lama.

"Sak, lo nggak tahu seberapa keras gue berjuang selama ini buat dia," imbuhnya lebih dramatis. Ini dia nggak lagi ngomongin berjuang lewat chatting, 'kan? Kalau dia bicara soal chatting yang dia lakukan selama ini dengan kekasihnya yang katanya cantik mampus itu, kurasa si Adam ini kalah telak dengan admin Telkomsel yang rajin sekali mengirim pesan.

"Tapi pada akhirnya lo berjuang sendirian, 'kan? Yaelah, Dam, Dam ... pahlawan yang berjuang rame-rame aja bisa kalah dalam pertempuran, apalagi lo yang berjuang sendirian," ucap Bian, sambil menikmati makanannya sebelum melanjutkan lebih jauh, "dengerin gue ya, meskipun lo punya banyak duit, meskipun lo punya banyak afirmasi, kalau lo nggak pernah ada di saat dia butuh lo, maka lo nggak berarti apa-apa."

Kontan, aku melepaskan garpuku dan menoleh ke arah Bian dengan cepat. Entah bagaimana, ribuan kosakata di dalam kepalaku mendadak berhamburan. Bibirku bungkam, tak jadi mengunyah mi di dalam mulutku yang mungkin akan segera dingin. Kenapa tiba-tiba aku merasa tersindir? Memangnya apa yang sudah aku lakukan pada Rebecca?

Extraordinary Kin SEASON 2 [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang