Suatu sore, di sebuah panggilan telepon.
"Kalau Mas Jovan nggak sibuk, datang aja sih, tapi kalau lagi sibuk ya nggak usah—"
Tiba-tiba pembicaraan lewat telepon itu terjeda saat mbak-mbak cantik penjual pisang keju bertanya mengenai topping dalam pesananku. Omong-omong, benar apa kata Bian. Ada banyak perempuan cantik di Dago, termasuk para penjual pisang keju yang sejak tadi melemparkan senyum ramah kepadaku.
"Yang satu nggak pakai keju ya, A?
"Iya, yang satu tolong jangan pakai keju. Pakai coklat aja—lagian kalau mau minum tinggal langsung dituang dari galon, kagak ribet-ribet amat. Iya iya, atur aja sebrengsek mungkin. Gue? Lagi di Dago sama temen-temen. Ya malam Mingguanlah, kayak nggak tau anak muda aja. Kagak, tenang aja, paling entar pulang subuh—" Kontan, aku menjauhkan ponsel dari telingaku saat Cetta memekik begitu keras dari seberang panggilan.
Anak itu mendadak kesetanan saat aku berkata bahwa aku akan pulang subuh alih-alih pulang larut malam. Maksudku, sekalian aja, 'kan? Dia berkata padaku untuk jangan pulang terlalu malam, jadi kenapa tidak sekalian pulang subuh saja? Namun, saat aku menjawab seperti itu, dia justru marah-marah.
Keramaian yang berlangsung di sini ternyata tak bisa menutup betapa berisiknya suara Cetta di seberang telepon. Anak itu masih mengomel, yang sesekali mengadukanku pada Mas Jovan dan Mas Nana. Teteh-teteh cantik yang sedang menyiapkan pisang keju pesananku sampai terkekeh saat melihatku berkali-kali menjauhkan ponsel, bahkan tanpa mengaktifkan loudspeaker pun, aku masih bisa mendengar suara Cetta yang mirip suara lumba-lumba itu dengan sangat jelas. Nah, kedengarannya dia sedang mengadu pada mama sekarang.
Padahal aku sudah bilang pada Cetta bahwa malam ini aku akan pergi keluar dengan teman-temanku. Aku bahkan sudah menjelaskan panjang lebar bahwa aku suntuk berada di rumah terus—berjibaku dengan tumpukan tugas yang seperti tak pernah ada habisnya. Tetapi saat aku tiba di antrean pisang keju, Cetta tiba-tiba menelponku dan membahas masalah dispenserku yang sedang rusak di rumah. Dia bisa saja menelpon nanti ketika aku sudah tiba di rumah, atau besok karena besok adalah hari libur. Tetapi dia justru menelpon di saat yang tidak tepat.
"Udah, udah! Tantrum mulu lo. Ini gue mau bawa pesenan pisang keju punya temen-temen gue. Bully apaan? Kagak, Monyet! Semuanya juga pada pesen makanan, biar antrenya nggak kelamaan jadi gue antre beli pisang keju, Adam beli seblak, Margo beli minumannya. Astagaaa, aku baik-baik aja, Ma. Iya, nggak bisa video call soalnya rame banget—oh, udah ya, Teh? Makasih."
Sangking sungkannya dengan obrolan aneh ini, aku sampai menyengir canggung pada mbak-mbak penjual pisang keju dan beberapa orang yang ada di sekitarku. Mungkin samar-samar mereka mendengar bagaimana mama menyahut dan bertanya dengan nada heboh apakah aku sedang di-bully atau bagaimana.
Aku pikir, ketika aku sudah berusia 20 tahun dan berada jauh dari rumah, mereka akan berhenti memperlakukanku seperti anak kecil, ternyata tidak. Tak peduli berapapun usiaku dan sejauh mana aku pergi dari rumah, di mata mereka sepertinya aku hanya anak bungsu yang tidak tahu apa-apa.
"Bisa nggak bawanya, A? Mau saya bantu?" tawar mbak-mbak penjual pisang keju. Dia sepertinya terlihat khawatir saat aku kerepotan membawa 6 piring pisang keju sekaligus.
"Bisa, bisa. Nggak pa-pa, Makasih," jawabku, kemudian menumpuk 5 piring tersebut menjadi satu. Aku benar-benar tidak peduli jika piring-piring tersebut saling bertumpuk. Aku hanya tak ingin membuatnya menjadi ribet. Gara-gara itu juga, orang-orang yang ada di sana sampai memerhatikanku yang melenggang begitu santai ke arah meja di mana teman-temanku berkumpul.
"Apa? Suara cewek? Oh, suara mbaknya yang jualan pisang keju. Selingkuh apaan, sih? Suka ngaco lo kalo ngomong. Telponnya udahan ya, gue mau makan. Iyaaa, astaghfirullah, Mas Tata. Terserah, deh. Ya terus gue harus gimana? Udah, ah. Gue matiin telponnya, ribet lo Sangkuriang!"
![](https://img.wattpad.com/cover/373707663-288-k788659.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin SEASON 2 [PREVIEW]
Teen FictionDengan segala keterbatasan, Kin Dhananjaya memulai perjalanan untuk mencari tahu arti sebuah kedewasaan. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari rumah dan memulai kehidupannya sendiri-di sebuah kota yang akhirnya kembali mempertemukannya den...