BAGIAN 1

4.9K 471 64
                                        

Di umurku yang baru saja menginjak 20 tahun, aku masih tidak suka keramaian. Aku masih berusaha keras untuk bergaul seperti remaja-remaja pada umumnya. Tak jarang aku memilih untuk menepi, menjauh dari semua orang untuk berdialog lebih banyak terhadap diriku sendiri. Aku sibuk membangun dinding, lalu menenggelamkan diri dalam ruang bernama kesepian. Namun, tidak apa-apa, karena setidaknya masih ada tempat yang selalu kusebut 'aman'.

Dari tahun ke tahun, ada banyak hal yang terjadi. Dari musim ke musim, hujan selalu turun deras, dan badai akan turut serta di dalamnya. Di tengah hantaman badai itu, aku meninggalkan hiruk-pikuk Kota Jakarta menuju sebuah kota yang berjarak 140 km dari sebelah tenggara Jakarta, yaitu Kota Bandung. Salah satu kawasan metropolitan terbesar ketiga di Indonesia setelah Jabodetabek dan Surabaya. Menurut artikel yang pernah kubaca, kota ini tercatat dalam berbagai sejarah penting yang pernah terjadi di Indonesia, salah satunya sebagai tempat berdirinya sebuah perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia yakni Technische Hoogeschool te Bandoeng, TH Bandung, atau yang sekarang disebut Institut Teknologi Bandung alias ITB. Selain itu, Bandung juga menjadi lokasi ajang pertempuran pada masa kemerdekaan, serta pernah menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika pada tahun 1995, suatu pertemuan yang menyuarakan semangat anti kolonialisme.

Mulanya, Bandung hanya terlihat menarik saat aku menemukan informasi bahwa di salah satu universitasnya terdapat jurusan yang sejak dulu selalu aku idam-idamkan, yakni program studi sarjana astronomi. Di dalam kepalaku, aku bertekad bahwa aku harus datang ke sana. Aku harus masuk jurusan tersebut tidak peduli apa pun yang terjadi.

Seperti seorang musafir yang berjuang melawan hantaman badai, aku terseok-seok. Rasanya seperti memeras seluruh tenagaku untuk berada di titik saat ini. Astronomi selalu menarik di mataku, tetapi segalanya tidak semudah yang aku bayangkan. Aku masih menjadi bagian yang tertinggal. Bagian yang harus bekerja lebih keras dibanding teman-temanku yang lain, dan itu sangat melelahkan. Meski begitu, Bandung menghiburku secara perlahan-lahan. Mulai dari makanannya, cuacanya, ruas-ruas jalannya, bahkan orang-orang di dalamnya. Bandung mungkin tidak jauh berbeda dengan Jakarta, sama-sama sibuk dan penuh kemacetan. Namun, entah kenapa selalu ada alasan untuk membetahkan diri di tempat ini.

Butuh perjuangan ekstra supaya aku bisa sampai di kota ini. Ada banyak argumen yang akhirnya aku semburkan demi mendapat izin untuk melepaskan diri dari rumah. Keluargaku jelas menentang, dengan dalih bahwa aku tidak akan bisa hidup sendirian di tempat jauh, terlebih mama dan Bang Tama. Satu-satunya orang yang mendukung keputusanku hanya Mas Jovan. Laki-laki itu bilang, "Laki-laki memang harus terlatih untuk berjuang, nggak peduli harus dimulai dari mana. Kalau bukan sekarang, kapan lagi dia bisa belajar untuk tumbuh? Kalau bukan kita, siapa yang akan mendukungnya untuk mengemban tanggung jawab?" Maka, di sinilah aku sekarang.

Jarak satu kilometer dari kampus, Kak Ros memutuskan untuk menyewa sebuah hunian—yang biasa kita sebut dengan nama kontrakan. Laki-laki itu berdalih, mengontrak satu unit rumah menurutnya jauh lebih aman ketimbang menyewa satu kamar kos. Katanya, kalau aku tanpa sengaja menyebabkan kebakaran, tinggal di sebuah indekos lebih berisiko memakan lebih banyak korban jiwa dan kerugian. Tetapi jika tinggal sendirian, kemungkinan korban tewas mungkin hanya aku. Alibi yang agak gila memang. Namun, sialnya mama dan kakak-kakakku yang lainnya menyetujui dengan mudah.

Kalau-kalau dilanda kesepian dan rindu dengan suasana rumah, sesekali aku mengajak teman-temanku untuk menginap. Sekadar masak mi instan bareng, main game bareng, atau karaoke sampai pagi buta. Dengan begitu, rasa rinduku menguap. Dari momen itu aku menyadari satu hal, tidak peduli sebenci apa pun manusia dengan keramaian, ada kalanya mereka juga membutuhkan itu. Karena sejatinya, manusia tetap butuh bicara, butuh distraksi, butuh kehidupan. Dan ya, aku pun begitu—sama seperti manusia-manusia lainnya.

Extraordinary Kin SEASON 2 [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang