VIII. Tekadang Kadang Kiding

147 34 3
                                    


Ah, aku tidak tau ingin berkata apa. Soal manusia.

"A-Ayah, udah pulang?"

"Jangan alihin pembicaraan saya, Taufan Reano. Jawab, kamu pasti hidup bahagia, bukan? Selama kami tidak ada disini."

Kadang manusia itu terasa begitu keji.

"Kenapa ada tempat kucing disini? Kamu ngebawa binatang kotor masuk kerumah?"

"Gak kok, ma. Kemarin tetangga titipin kucingnya kesini, m-makanya Taufan kira tadi tetangga mau nitip lagi."

Kadang juga manusia itu terasa begitu rendah hati.

Dari dulu, bagaimana manusia itu, sudah jadi pertanyaan ku.

Aku lahir dirumah sederhana, dari kucing betina ras biasa. Aku punya dua kakak, dan satu tuan. Seorang gadis kecil bernama Camila, dia adalah tuan ku.

"Meng-meng kecil cepat gede, ya! Biar nemenin Mila main!"

Gadis kecil itu hanya gadis kecil penuh tawa, memelihara kucing pun tampaknya atas dasar rasa suka. Orang tuanya juga merawat aku, kakak ku, dan ibuku dengan baik. Hidup ku benar-benar selayaknya kucing pada umumnya. Kau tau, tidur, makan, menyusu, bermain.

Bahkan saat ibuku mati dua bulan setelah aku lahir, tak banyak hal yang berubah.

Penyebab utama kenapa hidup ku berbanding terbalik sampai harus berganti rumah ke rumah, adalah hari kematian Camila.

Camilan mengidap kelainan jantung, dan harus meninggal diusianya yang masih sebelas tahun. Sangat belia, untuk kematian yang menyakitkan.

Kematian Camila membuat kedua orang tuanya terpuruk, kami-- para peliharaannya pun sebenarnya serupa. Sedih, kecewa, marah. Camila tidak layak mendapat akhir sekejam kematian.

Tapi kami tak bersedih terlalu lama, tidak seperti kedua orang tuanya.

Keterpurukan seseorang, membawa kami bertiga dalam kengerian.

"Kucing menyebalkan! Tidak tau diuntung!"

Kesalahan kecil saja bisa membuat tubuh kami penuh luka. Makan tak diberi, tubuh tak diurusi, kami bagai angin lalu dirumah itu.

Ayah Camila adalah orang yang paling menentang kami.

"Kak, kakak yakin mau mencuri? Kakak tau 'kan, tuan tidak akan suka."

Suatu hari, sadar bahwa kami tidak bisa terus bergantung pada keberuntungan tuhan yang membiarkan kami tetap hidup. Kakak pertama ku menawarkan diri untuk mencuri makanan yang tersimpan dimeja. Tentu aku dan kakak kedua ku tak setuju, kami tidak akan pernah tau apa yang terjadi bila ketahuan mencuri.

"Kalian tidak ingin terus menerus lapar 'kan? Tenang saja, tuan sedang tidak ada dirumah, perasaannya pun sepertinya sedang baik. Ingat, tuan itu orang yang baik, dia tidak akan marah berlama-lama."

Tuan adalah orang yang baik. Kata itu sangat meyakinkan, bukan. Tentu, kami disayangi, dijaga dan dirawat dengan baik. Tapi itu dulu.

"Pergi dari rumah ku! Dasar biadab!"

Tubuh kakak pertama dilempar ke kolam ikan yang ada di belakang rumah. Tubuh kecil nan ringkih miliknya tergesa-gesa menyelamatkan diri agar tak mati tenggelam usai ketahuan mencuri.

Aku dan kakak kedua ku hanya bisa melihat dari kejauhan, tak ada yang bisa kami lakukan.

Tuan adalah orang yang baik. Omong kosong.

Kakak ku mati tiga hari kemudian, karena kelaparan dan kedinginan.

Tubuhnya pun bahkan tak dikuburkan, hanya dibuang keluar, dibiarkan membusuk dengan sendirinya.

The Cat's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang