IX. Dasar Anjing! Tapi kan Memang Anjing?

115 30 7
                                    


Dunia itu susah ditebak, apalagi soal takdir. Tidak pernah ada yang tau, apa yang akan terjadi dimasa depan.

Akankah semuanya tetap sama?

Atau berubah drastis dari biasanya?

"Mama gak mau tau, keluarkan semua barang-barang gak guna itu, Taufan."

"Setelah ini kamu ikut saya, sengaja gak sengaja, kamu harus tetap dihukum."

"...Iya."

Apa maksud nada lirihnya itu.

Setelah semua dosanya pada ku dia berniat membuat ku keluar dari rumah ini?

Aku sudah tau seperti apa kedua orang yang dia sebut ayah dan ibu. Bahkan jika ini kali pertama aku melihat mereka.

Mereka bajingan sinting.

Sama seperti tuan pertama.

Hey, jangan ragukan pengalaman satu tahun ku dirumah sialan itu. Jangankan membedakan orang, aku bisa membedakan racun tikus yang kadang ditaruh ibu Camila di makanan ku jika penyakit mentalnya kambuh.

Aku tidak akan membiarkan Taufan bersama mereka. Aku tidak akan meninggalkan rumah ini.

Langkah demi langkah berdecit diatas anak tangga, manik biru safirnya menatap ku yang duduk terdiam dibalik tembok. Tangannya meraih ku, diam-diam membawa ku menuju kamarnya.

"Sorry Lin, ortu gue gak suka gue melihara hewan. Lu nanti sama Blaze aja, ya?" monolognya itu ingin ku balas dengan meong-an kasar tapi tangannya lebih gercap menutup mulut ku dan berbisik, "Shtttt!" dengan tegas.

Siapa juga yang mau sama manusia jelek satu itu. Ku apresiasi kepekaannya tapi manusia bernama Blaze itu menyebalkan.

"Please Lin, Alin gak sayang Upan? Nanti Upan dimarahin, Alin mau?"

Eugh, geli.

Enggak, ogah.

Sebelum aku bisa tau apakah rumah ini aman untuk ditempati. Atau sebelum kedua manusia itu pergi dari rumah ini. Aku tidak akan melangkahkan tungkai ku sejengkal pun dari sini.

Belum sempat dia berbicara lagi, seruan dari lantai bawah melengking keseluruh ruangan, "TAUFAN KENAPA KAMU MASIH DIKAMAR?! MAU JADI PEMALAS KAMU?!"

Desahan lelah keluar perlahan dari mulut Taufan sebelum dia menjawab, "Iyaaa! Taufan lagi mandi, bun!"

Taufan kembali menatap ku, dipeluknya dan digesekkannya wajah jeleknya itu ke wajah ku. "Kalau ketauan pasti elu dibuang Lin, jadi mending sama Blaze. Gue gak bisa apa-apa kalau lu kenapa-napa disini."

Nada lirihnya itu menyebalkan.

Aku tidak mungkin langsung mati kalau dibuang.

Aku tahan banting, tahan diracun, sering dilempar kekolam, tahan gak makan tiga hari.

Jadi maksudnya aku hanya akan jadi bebannya jika ada disini?

"Gue sayang lu, Lin. Lo temen gue, gue tau lo galak minta ampun sama orang lain. Tapi dengerin gue, ya?"

Sayang, itu katanya.

Omong kosong.

.

.

.

"Gue tau sih anjing sama kucing itu kek Tom en Jepri, tapi kalau dibebasin dirumah yang ade lu kena injek adek gue yang lasak naujubillahhiminzalik."

The Cat's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang