(#2) VII. Menantu Taufan

166 34 5
                                    


Kata pepatah, ucapan adalah doa.

Aku menyesal bilang betina ini menarik hari itu.

"Anoo! Aku tau kamu disini! Kaluar atau aku yang menyeret mu!"

Karna pohon ini benar-benar nyaman dijadikan tempat pelarian dari Taufan, aku lebih sering datang ke pohon ini. Dan, siapa yang menduga betina yang kutolong (secara terpaksa) hari itu malah datang setiap kali aku ada di pohon ini.

Aku bilang dia menarik bukan artinya aku ingin dia terus menempeli ku! Dia benar-benar seperti parasit yang menempel sepanjang waktu!

"Ketemu kau! Kau sengaja ya, bersembunyi dari ku?!"

"Ck, berhenti mengganggu waktu ku!"

Banyak tempat ku coba untuk bersembunyi, tempat rimbun, tempat gelap, tempat sempit, bahkan sekarang aku bersembunyi di tong sampah pun dia tau.

"Aku membawa makanan lagi loh, masa kamu tidak ingin sedikit?"

Yang dia lakukan juga bukan apa, hanya memberi makanan pada ku sebagai bentuk 'balas budi'. Padahal berkali-kali aku berkata aku bahkan terpaksa menolongnya, tapi betina itu keras kepalanya minta ampun.

"Sudah ku bilang aku ini bisa mencari makan sendiri! Apa pula yang kau bawa itu?! KENAPA KAU MEMBAWA KEPALA KAMBING?!"

"Yaa.. tuan ku kebetulan bikin rendang kambing, jadi kepalanya kuambil."

Betina memang sulit ditebak. Dia bisa membawa kepala kambing sebesar itu tapi dia bisa melawan pejantan yang menggodanya. Jangan-jangan selama ini aku ditipu.

"Aku tidak butuh, bawa kembali benda itu."

"Ih, Ano jahat banget. Padahal susah tau nyolongnya."

"Nama ku Hali, Hali-lintar."

"Pokoknya makan dulu!!"

"Gak mau!"

Betina-- Aren. Menatap ku dengan kesal, wajahnya mengkerut sebal saat ku tolak mentah-mentah hadiahnya.

"Aku tau kamu suka nyolong barang babu mu buat dijadiin tempat tidur disini. Makan gak, atau kamu ku cepuin!"

Sejak kapan dia tau?!

"Dih, mainnya cepuan."

"Ya udah, makan sana!"

Lamat-lamat ku tatap kepala kambing yang dibawanya. Aku selalu menolak karena aku risih, aku sama sekali belum pernah benar-benar menerima pemberiannya. Aku tidak akan mati jika memakan kepala itu, tapi tetap saja, aku belum pernah mendapat hadiah semacam ini. Rasanya aneh.

Satu-dua gigit rasanya asing. Taufan mana pernah (yang ku tau) membeli atau memakan daging hewan berkaki empat. Protein hewaninya kebanyakan dari ikan atau jajan yang dia beli. Bisa diwajarkan kerena duitnya pas-pasan saat orang tuanya tidak ada.

"Enak juga."

Tapi lama-lama rasanya bisa diterima, walau agak amis-- tapi yang namanya kucing sudah bersahabat dengan bau itu. Dagingnya kenyal, gurih juga rasanya. Tidak buruk.

"Tuh, enak 'kan. Huuu daging seenak ini dibilang 'gak butuh'. Kalau sama aku tuh jangan malu-malu, lagian kita teman."

Teman.

Aku sampai lupa, teman itu rasanya seperti ini. Mungkin karena aku terlalu sering bertemu si siamese menyebalkan, aku sampai lupa kalau dia itu lebih cocok disebut bajingan dari pada teman.

Ini sedikit menyenangkan.

Betina ini membuat ku membiarkannya ada di dekat ku.

Aneh, kenapa aku begitu?

The Cat's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang