Chapter 3

47 7 2
                                    

Tidak terasa, dua minggu berlalu. Pitaloka mulai terbiasa dengan kehidupannya sekarang. Ia merasa sudah dapat beradaptasi dengan lingkungan. Ternyata jurusan yang diambilnya ada manfaatnya juga, ia dapat berakting layaknya seorang aktor.

"Yunda, aku ingin sekali mempunyai mahkota bunga buatan Yunda." adiknya, Niskala menarik tangan Pitaloka. Pitaloka hanya mengangguk dan mengikuti langkah kecil adiknya itu. Ia mulai memetik bunga-bunga di taman dan merangkainya menjadi mahkota bunga.

"Rayi, kemarilah. Yunda pakaikan mahkota bunga ini kepadamu." Pitaloka menepuk kursi di sampingnya. Setelah memasangkan mahkota bunga, Niskala kembali bermain di taman.

Pitaloka berjalan menyusuri taman. Matanya kemudian tertuju pada sekelompok prajurit yang sedang berlatih di tanah lapang yang berada di bawah lereng gunung.

"Apa aku coba belajar bela diri, ya? Sepertinya akan sangat berguna untuk masa depan. Aku harus membicarakan ini dengan Ayahanda." Pitaloka kemudian menghampiri ayahnya yang tengah berada di ruang utama istana.

Pitaloka menghentikan langkahnya, ketika mendapati ayahnya sedang bertemu dengan beberapa orang.

"Put..." belum sempat pengawal itu memberi laporan kedatangannya, Pitaloka memberikan isyarat dengan tangannya agar tidak memberitahukan kedatangannya. Ia berpikir mungkin saja ayahnya sedang membicarakan yang penting. Bukanlah waktu yang tepat untuk menghentikan pembicaraan mereka.

Ia pun berdiri di samping pintu sambil menunggu mereka selesai berbicara. Setelah selesai, ketiga orang tersebut kemudian meninggalkan ruangan utama. Pitaloka mengerutkan alisnya, dia tidak pernah melihat ketiga orang itu selama dia disini. Apa mungkin mereka adalah tamu dari luar? Pikirnya.

Ia tidak ingin memusingkan hal tersebut, ia harus segera menemui ayahnya dan menyampaikan niatnya. Ia mengintip dari ambang pintu, membuat ayahnya terkekeh pelan melihat tingkahnya.

"Apa aku boleh masuk, Ayahanda?" tanya Pitaloka yang kemudian dijawab dengan anggukan dan lambaian tangan ayahnya.

"Kemarilah, Putriku. Ada apa gerangan kau datang kemari?" ayahnya menatap lekat putri sulungnya yang kini sudah berdiri di sampingnya itu.

"Itu.. Ayahanda, tadi saat aku bermain ke taman bersama Rayi Niskala, aku melihat sekelompok prajurit sedang berlatih. Aku merasa sebaiknya aku juga berlatih ilmu bela diri. Aku merasa itu akan sangat berguna bagiku. Meskipun aku seorang wanita, aku juga tidak ingin berdiam diri ketika dilindungi oleh pengawal. Aku ingin melindungi diriku sendiri." pinta Pitaloka sambil tertunduk. Ia benar-benar merasa tak tahu diri meminta hal yang sulit dijawab. Namun, dari lubuk hatinya, dia sangat ingin melindungi diri, dan ayahnya jika tragedi itu tiba.

Ayahnya tersenyum, "Anakku, Dyah Pitaloka. Sejak kapan aku melarangmu melakukan keinginanmu? Ayahanda percaya, apapun yang kau lakukan adalah sebuah kebaikan dan akan membawa keberkahan untuk kerajaan kita. Namun, saat ini Ayahanda belum bisa menemukan orang yang tepat untuk mengajarimu. Kebetulan, kita mendapati undangan perjamuan di Kerajaan Majapahit, besok. Sampai saat itu, biarkan Ayahanda berpikir untuk mencari orang yang akan menjadi gurumu kelak. Ayahanda berjanji akan secepatnya menemukan guru yang hebat untukmu."

Betapa terkejutnya Pitaloka mendengar jawaban ayahnya itu. Ia tersenyum lebar dan memeluk ayahnya, tak lupa dia pun mengucapkan terima kasih. Di tengah kegembiraannya, tiba-tiba dia tersadar dengan perkataan ayahnya tadi. Perjamuan? Majapahit? Bukankah itu adalah kerajaan Hayam Wuruk?

"Tunggu, Ayahanda. Tadi Ayahanda mengatakan bahwa ada perjamuan besok?"

"Benar. Kita akan berangkat bersama, besok. Perjalanan akan sangat melelahkan, maka kita akan berangkat ketika matahari terbit. Kau bersiaplah, Ayahanda akan mempersiapkan semuanya dulu." Ayahnya berencana untuk meninggalkannya, namun Pitaloka menahannya.

SANDYAKALA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang