Mas Dewa dan Tukang Martabak

59 12 3
                                    


Tak biasanya Sabian yang selalu berisik, kini melangkah di pinggir jalan bersapal komplek dengan malu-malu. Merasa kecil dengan tubuhnya sendiri saat menatap punggung lebar Sadewa di hadapan. Ia pun menunduk, memperhatikan langkah sendiri sambil menendang kecil krikil yang dijumpai.

Sadewa melirik belakang punggung akan sepi yang dirasa. Sedikit takut juga jika laki-laki dibelakang tiba-tiba menghilang tanpa ia sadari. Tapi saat melihat Sabian malah sedang berjalan tertunduk, sebuah ide jahil menghampiri. 


Si jangkung tiba-tiba menghentikan langkah, yang membuat kepala Sabian seketika terantuk langsung dengan punggung kekar tersebut.

"Aduuuuhh!" Sabian meringis yang membuat Sadewa tertawa. Sabian mendongak, menatap Sadewa sebal, "Hih! Sengaja ya?"


"Ya habis diem aja. Mana jalan dibelakang gitu sambil nunduk. Kalau disangka gua lagi bawa tuyul gimana?" canda Sadewa yang membuat Sabian memanyunkan bibir. Ekspresi lucu itu tentu membuat Sadewa gemas dalam hati.


"Dih, mana ada tuyul seganteng gue gini," Sabian menggerutu sendiri. Tapi Sadewa masih tetap mendengarnya, ia pun terkekeh pelan. 

Sabian melirik tajam laki-laki di depan. "Lu mau gue ngomong? Ngomong apa? Tadi bukannya ada yang bilang mau minta maaf, ya?" 


"Hmm? Right.. But first, let me tell you about something." Ucap Sadewa. Alis Sabian terangkat penuh tanya. "Gua lebih tua dua tahun dari lu, by the way."


Sabian memutar mata. Tentu dia sudah tau, Nakula kan satu angkatan juga dengan Hiro, sudah pasti Sadewa pun begitu. "So?"


"So... Ya ga sopan aja, manggil gue-lu sama gua.."


Sabian menahan tawa. "Apa sih? Gak jelas banget alasannya. Inikan udah jadi panggilan biasa sehari-hari. Nakula juga ga keberatan gue ngomong begini. Lu sendiri sama juga."


"Tapi gua ga mau lu pake panggilan biasa itu buat gua," Sadewa dengan cepat menanggapi. Sabian langsung tertegun. "How about... Mas? Mas Dewa?" Sambil tersenyum jahil karena terlihat semburat merah di pipi Sabian, Sadewa melangkahkan kaki lagi. Membiarkan Sabian berperang dengan batinnya sendiri.


"M—mas Dewa!"


Dengan senyum lebar, Sadewa kembali berbalik. "Dalem, say—adek?" hampir saja dia keceplosan.


Wajah Sabian benar-benar terasa panas kini. Sampai dia terlalu malu untuk menatap langsung ke arah Sadewa. "I—itu nanya. Bukan m—manggil, maksudnya.." Gugupnya. "Kenapa harus itu? Kayak yang lagi pdkt aja.." Sabian menggigit bibir, mengutuk diri sendiri dalam hati. Benar-benar tak menyangka kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.


"Kalau Mas emang mau pdkt sama Adek, gimana?" tanya balik Sadewa dengan santai.


Mendengar itu, Sabian benar-benar tak bisa menahan pacu jantungnya lagi. Rasanya hampir pingsan. Kalau saja angin dingin tak berhembus menusuk kulit, dia pikir dia sedang bermimpi kini. "B—bukannya, Wira—"


"Ah.. Bener ternyata." Sadewa kembali berjalan mendekati Sabian. "Adek tadi sore ngambek gara-gara cemburu sama Kak Wira." Ia mengusak gemas rambut Sabian. "Maaf ya.. Sebenernya ini yang mau Mas bilang sama adek. Maaf udah bikin adek gak nyaman di mobil tadi. Dan cemburu—"


"Dih— enggak cemburu!" Protes Sabian tanpa memperdulikan rambutnya yang kini berantakan. "Ngapain cemburu.. orang baru kenal," cicitnya. Rasanya ingin menghilang saja karena kebohong yang begitu terasa. 


Sadewa terkekeh. "Dari awal ketemu adek, sebenernya Mas udah pengen kenal lebih. Makannya tadi pagi ngeberaniin diri buat kenalan langsung di depan tante Sarah," jelas si jangkung. "Bolehkan kalau Mas langsung pdkt sama adek? Kata tante Sarah, adek juga ga punya pacar." Dia memamerkan senyum lebarnya.


Hih! Mama udah ngomong apa aja sih sama Mas Dewa?? Sabian menggerutu dalam hati. MasDewa.. Panggilan tersebut membuat Sabian kegirangan, tapi tak mungkin dia melakukannya tepat di hadapan sang pemilik nama, kan?


"Jadi... Gimana?" tanya Sadewa penuh harap.


"I—iy"


Tiba-tiba sebuah sepeda motor terhenti di belakang Sadewa. Membuat keduanya langsung menoleh. "Martabak atas nama Sabian!" panggil Revano bercanda. Laki-laki tampan itu menyunggingkan gigi-gigi rapi bertaringnya. "Untung liat lu di sini, jadi gua ga perlu—"

Sang manusia hybrid langsung terdiam dan hampir terlonjak kaget saat merasakan jok belakang membal karena dinaiki seseorang. "Loh, Yan? Kenapa—"


"Buru cabut, Van! Bawa gue kabur dari sini, pleasseeee!" Desisnya yang menyembunyikan wajah dibalik punggung sang teman.


"Tapi—"


"Cepet, gak?!" Pekik Sabian yang membuat Revano menyalakan mesin motornya lagi. Lalu mengangguk canggung, pamit pada Sadewa saat berlalu meninggalkan laki-laki itu yang berdiri kebingungan.






>> tbc <<


Little DandelionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang