Sabian VS The World pt.2

79 14 0
                                    


Jarum detik yang bergerak lambat pada jam tangan di pergelangan, membuat mata Sabian mendelik. Kenapa yang ia merasa sudah berdiri di depan gerbang sekolah selama berjam-jam, tapi nyatanya waktu baru berjalan satu menit.

Rasanya benar-benar panik dan gugup hanya menunggu orang yang, too good to be true, datang menjemput.

Jika diingat-ingat lagi pertemuan pertamanya dengan Sadewa adalah sesuatu yang memalukan. Bahkan Sabian sendiri tak mau mengingat-ingat bagaimana penampilannya saat itu. Papanya sendiri mengatakan dia seperti orang gila, kan? 

Walaupun hanya bercanda, tetap saja itu menyebalkan.


Tapi anehnya, penampilan acak-acakan Sabian seperti tak membuat Sadewa risih. Malah Sadewa yang terkesan mengajaknya berkenalan duluan setelah itu. Apa Sabian terlalu percaya diri dan Sadewa hanya bertindak sebagai tetangga yang baik?

Tapi menjemputnya ke sekolah seperti ini, bukan sebuah keharusan seorang tetangga, kan? Sadewa harusnya bisa menolak permintaan mamanya jika memang tidak mau. Lagipula mereka baru sehari bertemu, mereka berdua masih bisa dikatagorikan sebagai orang asing.


Pergolakan batin dalam diri Sabian membuatnya semakin ingin cepat sampai rumah tanpa harus menjalani proses perjalanannya. Kedua telapak tangan Sabian pun basah, berkeringat. Sabian sampai membuat skenario di dalam kepalanya tentang apa yang harus dia lakukan dan katakan saat Sadewa datang nanti.


Bunyi klakson mobil membuat Sabian terlonjak kaget, pun membuyarkan segala naskah dialog yang sudah ia susun rapi di kepala.

"AH!" Keluhnya lantang. "Kenapa sih suka banget bikin orang ka—get.." Sabian menggigit bibir bawahnya, menahan diri tidak mengomel. Saat kaca jendela mobil yang datang menghampri, dibuka turun dan memperlihatkan visual sempurna Sadewa.


"Ian!" Sapa Sadewa. "Maaf tadi sekalian ngambil barang dulu, untung masih searah sama sekolah lu. Gak nunggu lama, kan?" Tanyanya. 

Kegugupan membuat bibir Sabian kelu. Dia hanya menggeleng dengan tatapan yang tak berkedip dari laki-laki itu. Sadewa tersenyum, dan itu membuat isi perut Sabian rasanya jungkir balik.

"Ayo naik, tante Sarah pasti udah nunggu anak kesayangannya pulang," lanjut Sadewa. 

Mendengar nama mamanya disebut, Sabian seketika sadar bahwa apa yang ada di depannya memang bukan mimpi.


"I—iya.. Makasih," cicitnya. Terlalu bingung harus mengatakan apa. Pipinyapun memerah saking merasa malu akan dirinya sendiri.

Saat Sabian berjalan memutar depan mobil untuk ke kursi penumpang sebelah pengemudi, panggilan dan sahutan klakson motor terdengar.


"Ian! Yan! Tunggu!" 

Panggilan itu membuat Sabian menoleh, dilihatnya Dwiki dan Revano baru keluar dari gerbang sekolah dengan menaiki motor masing-masing.

Bukannya menghampiri kedua sahabat, Sabian malah langsung menunduk dan pura-pura tak mendengar panggilan mereka yang kembali bersahutan. Ia mempercepat langkah hingga mencapai pintu mobil lalu membukanya.


Tapi lagi-lagi Sabian terpaku ditempat dengan apa yang ia lihat. Di kursi penumpang sebelah pengemudi ternyata sudah ada yang menempati. Seorang laki-laki tampan dengan kaca mata terbingkai di wajahnya.

Little DandelionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang