"Smash, Yan! SMASH!" Dwiki meneriakan intruksinya. Tapi dalam hitungan detik, terdengar keluhan lantang teman-teman satu kelas mereka yang menonton. Sabian gagal melakukan tembak balik, karena shuttlecock malah meluncur pada net.
Sang pelaku menggerutu dengan mengusap kasar peluh di dahi.
Padahal tinggal sedikit lagi menang! Pikirnya, kecewa. Sedikit merasa gugup juga akan skor yang sangat beda tipis.
Pertandingan badminton final class meeting hari ini kembali dimulai dengan pemain dari kelas lawan melakukan servis setelah kegagalan Sabian tadi. Sabian dengan cepat memukul bola yang akan mendarat di wilayahnya, yang ternyata masih bisa dikembalikan oleh lawan dan terus dipukul balik oleh Sabian.
Selama beberapa saat, mata para penonton mengikuti arah bola yang terus bolak-balik bisa dipukul, menunggu siapa yang akan mencetak poin selanjutnya dengan jantung yang ikut berdebar kencang juga gregetan.
Hingga akhirnya dari pemain lawan memberikan pukulan melambung pada Sabian, salah satu kesalahan fatal. Semua langsung menahan napas, tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan tentu saja Sabian tak mau melewatkan kesempatan tersebut, juga tak ingin mengulang kesalahannya. Sembari menyunggingkan senyum miring, Sabian melakukan lompatan kecil sebagai ancang-ancang pemukulan. Dan....
SMASH!
"YEEAAAYYYYYY!"
Semua teman sekelas Sabian langsung bersorak. Berhamburan ke lapangan untuk merayakan kemenangan. Sabian hanya bisa tertawa bahagia saat mereka menyeruduknya memberi pelukan, atau sekedar ucapan selamat. Tentu Dwiki yang paling duluan, sampai mengangkat kecil tubuh sang sahabat dengan sorakan girang.
19 - 21.
Sabian menang dalam dua set langsung.
Begitu bersyukur ada satu pertandingan class meeting yang dimenangkan kelas mereka.
Dari kemeriahan tersebut, Sabian merasa ada sesuatu yang hilang. Hingga saat kerumunan mulai menipis, ia menyempatkan melihat sekeliling, mencari sesuatu yang hilang itu.
Sudah tiga hari....
Ya, tiga hari. Sabian tak melihat sosok Revano, bahkan kontaknya masih ia blokir. Di saat seperti inipun, laki-laki itu sama sekali tak mendatanginya untuk sekedar memberi selamat.
Apa Revano semarah itu?
Bukankah Sabian yang harusnya lebih marah?
Tapi sebenarnya..... Apa yang mereka perdebatkan sampai tak ada yang mau maju duluan untuk mengakhiri? Permasalahan mereka bukan sesuatu yang besar, kan? Apa hanya ego mereka yang menahan? Apa persahabatan mereka yang berumur enam tahun itu tak berarti apapun hingga sekarang harus berakhir?
Sebuah hentakan di bahu membangunkan Sabian dari lamunan. Ia menoleh, tentu saja pelakunya Dwiki. "Heh! Lu tuh menang, Yan. Malah cemberut..." komentar sang sahabat.
Sabian berdecak, memutar bola mata pelan. Moodnya tiba-tiba berubah begitu cepat. "Siapa juga yang cemberut?" tanyanya dengan nada sarkastik, berjalan ke pinggir lapang untuk meraih botol minum dan juga tas raketnya yang ia simpan di salah satu kursi penonton. "Cabut, yuk?" ajaknya sebelum menenggak habis isi botol minum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dandelions
FanfictionGara-gara disuruh Mama anter kue ke tetangga sebelah, Ian jadi ketemu cowok super ganteng yang selama satu bulan ini dia ga tau kalau ada manusia kayak gitu hidup di bumi. Padahal yang Ian tau, rumah itu cuma dihuni Nakula (temen nongkrong abangnya)...