Chapter 67

10 1 0
                                    

Waktu begitu berlalu dengan cepat, setiap detik, menit dan jam sudah terlewatkan begitu saja. 2 jam gus fathi memandangi wajah pucat istrinya yang tidak sama sekali merubah kecantikannya, mata yang selalu menatapnya teduh kini terlelap begitu lama dan enggan membukanya. Bibir yang selalu menyunggingkan senyum seketika hilang bergantikan dengan bibir yang pucat, genggaman tangan yang tak pernah lepas seolah olah pria itu takut akan kehilangannya.

Takdir

Siapa yang tau takdir kita bagaimana setelahnya?
Sejatinya takdir adalah milik allah, tapi doa milik kita semua. Terkadang takdir membuat kita rumit, terkadang juga membuat kehidupan kita sebercanda itu. Tapi apa kamu tau di balik takdir itu terdapat hal mengejutkan untuk kita? Ya walaupun terkadang takdir begitu sulit untuk di laluinya, tapi bukankah allah berjanji bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Bukannya allah selalu membantu kita? Allah tidak pernah pilih kasih untuk membantu hamba hambanya, mau dia ahli pendosa atau siapapun dia, allah begitu adil untuk kita. Walaupun terkadang kita sebagai hambanya tidak bersyukur dengan pemberian nikmat yang telah ia berikan kepada kita selama ini.

Kembali ke rumah sakit gus fathi masih menatap wajah istrinya yang tidak ada rasa bosan untuk ia tatap. Genggaman yang begitu sulit untuk ia lepaskan mau tidak mau harus lepas dan bangun melaksanakan panggilan sang illahi. Di kecupnya kening wanita itu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia pamitan terlebih dahulu walaupun tidak ada jawaban sama sekali untuknya.

"Mas pergi dulu sebentar ya dek. Kamu cepat bangun ya. Mas udah kangen, adek gak kangen sama mas ya? Tapi mas yakin adek kangen juga sama mas walaupun kadang adek gengsi buat mengakuinya"kekehnya yang bicara sendirian dan mengusap pucuk kepala istrinya dengan pelan.

"Nanti ada abang yang jagain ya. Adek tunggu mas pulang"pamitnya yang pergi keluar dengan langkah kaki berat untuk meninggalkan istrinya. Mau gimana pun kewajiban tetaplah kewajiban yang harus ia laksanakan.

Ceklek

Gus fathi membuka pintu ruangan itu dan mendapati abang aisyah sudah berdiri di dekat pintu. Gus fathi bersalaman dengan abang iparnya lebih dulu dan basi basi sebentar sebelum menitipkan aisyah.

"Saya titip sebentar ya bang"ucapnya.

"Iya saya pasti jagain. Kan dia adik kandung saya sendiri jadi tenang aja"

"Yasudah kalau gitu saya pamit dulu bang asalamualaikum"salamnya

"Wa'alaikumusalam waramatullahi wabarakatuh"

Setelah kepergian gus fathi. Abang aisyah masuk kedalam ruangan adiknya dengan tatapan yang sulit di artikan. Berjalan dan mendekati adik kecilnya yang kini telah menjadi seorang istri dan sudah menjadi sosok gadis dewasa. Ia duduk di samping brankar dan menatap wajah adiknya dengan intens.

"Maafin abang ya dek. Harusnya abang bisa menjaga kamu sampai kamu tidak merasakan sakit berbahaya ini. Maaf, abang dulu pernah berbuat kasar sama kamu. Abang memang pengecut, abang tidak berani meminta maaf secara langsung di depan kamu. Tapi, yang harus kamu tau abang sayang sama adek, kamu tetap adik kecil abang selamanya"ujarnya tulus.

"Bangun ya dek. Jangan tinggalkan kami semua, adek gak kasian sama suami adek yang sudah beberapa hari ini selalu murung dan sedih? Dia sekarang tidak ada yang merawatnya dek, buka matanya ya abang mohon sama kamu Hiks...Hiks... "tangisnya di sela sela perkataannya tadi. Biarkan orang lain mau menilanya apa tentang dirinya menangis, karena jujur di dalam hatinya ia sakit melihat kondisi adiknya yang tak berdaya di brankar rumah sakit.

Setelah menumpahkan tangisnya abang aisyah kaget karena ada jari yang mengenggam tangannya. Dia menoleh dan mendapatkan aisyah tengah menatapnya dengan tatapan yang sayu dan sedikit tersenyum.

"Adek"teriaknya dan aisyah hanya menganggukan kepalanya sambil tersenyum.

"Alhamdulilah akhirnya adek bangun. Sebentar abang panggilkan dokter dulu ya"ucapnya senang karena aisyah sudah sadar.

Ia lantas bangun dan ingin berdiri tetapi aisyah melarangnya dan mengenggam tangan sang abang. Abang aisyah menyeritkan alisnya bingung dan memilih duduk kembali di samping aisyah.

"Kenapa dek?"tanyanya yang melihat aisyah malah menatap wajah sang abang.

"Gak usah panggil dokter. Adek baik baik aja bang, tolong ambilkan adek minum boleh?"pintanya dan abang aisyah menganggukan kepalanya dan bangun mengambil air minum yang ada di meja. Setelah itu menyerahkan gelasnya ke aisyah, aisyah segera bangun untuk duduk di bantu sang abang dan setelah itu meneguk airnya hingga tersisa setengah.

Aisyah kembali di rebahkan sang abang untuk tiduran kembali dan Ia menaruh gelasnya di meja semula. Setelah itu ia duduk lagi di samping adiknya.

"Mas fathi dimana bang. Dia gak ada di sini? Gak nungguin adek?"tanyanya yang sedikit lirih.

"Kamu salah dek. Suami kamu setiap hari selalu ada di samping kamu, nunggu adek sadar. Kita semua sudah menyuruhnya untuk istirahat dulu sebentar jagain adeknya, tapi tetap dia gak mau, bahkan untuk makan pun dia gak mau. Tadi suami kamu ijin titipin kamu sebentar ke abang karena dia mau pergi ke masjid mungkin sebentar lagi dia pulang"ucapnya dan aisyah menatap tidak percaya.

"Iss abang gak bohongin adek kan? Masa sampai segitunya mas fathi ke adek"ujarnya yang masih belum sebegitunya percaya.

"Beneran dek ngapain abang bohong. Kan suami kamu bucin parah"ujarnya dan aisyah terkekeh mendengarnya. Betul juga yang di bilang abangnya. Dan akhirnya aisyah percaya dengan perkataan sang abang mengenai suaminya selama ini. Mereka terus mengobrol dan sekali kali abang aisyah menjahilinya. Sudah lama juga ia tidak bercanda dengan adiknya dan ia kangen dengan masa masa saat itu bersama dengan keluarganya.

Aisyah & Ujiannya[End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang