0.1

103 8 0
                                    

Dua belas tahun berubah menjadi anak ambisius agar bisa melupakan sosok Jehan Pradipta Adijaya, dua belas tahun berusaha menjadi wanita mandiri agar bisa melupakan sosok Jehan Pradipta Adijaya, dua belas tahun melakukan segala cara agar move on berharap berhasil.

Ibu Ratih memampangkan anaknya didepan mata dalam hitungan detik.

Jehan Pradipta Adijaya.

Gue sempet mau mengundurkan diri, karena secuil perasaan itu masih ada.

Namun gue gak ekspek orangnya se menyebalkan ini, sekarang.

Dalam hati, 'Ini kak Jehan? Jehan yang gue suka dulu? Yang gue taksir gila-gilaan itu?'.

Tiga hari berlalu. Gue tau kenapa Ibu Ratih kekeuh dan menjanjikan gaji tinggi meski hanya untuk seorang asisten.

Beliau gila. Luar biasa gila!

Jehan adalah sosok yang benar-benar memanfaatkan apa yang dia miliki.

Contohnya gue, gue asistennya. Tugas asisten itu ngapain sih?

Benar! Bantu majikan. Hahah... Babu.

Dan seluruh berkas laporan yang seharusnya Aghna kerjakan -Manager Jehan-, menjadi kerjaan gue juga.

Mata gue mendadak linglung, tangan sudah lelah mengetik, bersandar pada kursi.

Lampu kantor sudah mati sebagian, membuat suasana sekitar gue redup.

Pangkal hidung, gue pijat dengan keras. Pusingnya, Masya Allah. Ini hari kedua gue gak pulang ke apartemen karena saking banyaknya tugas yang harus gue kerjain.

Kacamata minus yang gue pakai, mendadak tambah buram. Apakah min mata gue mendadak bertambah? Sialan.

Gue mengangkat kepala dan menatap jam digital yang ada di atas meja.

Pukul satu dini hari?

Gue menarik seluruh persendian yang kaku, dan mendesah pelan. Menatap pintu ruangan yang persis dihadapan meja kerja gue.

Lampu di dalam ruangan itu tak pernah mati, orangnya jarang pulang. Nyaris di kantor setiap hari.

Gue menghendikkan bahu tak peduli dan menarikan kembali jari-jari gue di atas keyboard.

Tinggal sedikit, pokoknya hari ini gue harus bisa pulang ke apartemen dan tidur di kasur

Semoga.

...

Setengah tiga pagi gue selesai menyelesaikan semuanya.

Bangkit dari kursi setelah perlengkapan gue sudah rapih semua.

Berjalan menuju lift, setelah lampu yang persis di atas meja gue, mati.

Namun suara jatuh lumayan keras, terdengar dari ruangan yang gue tatap tadi, menghentikan langkah gue.

Gue berbalik dan mendekati pintu itu. Mengangkat tangan ragu, dan mengetuk.

"Pak Jehan?"

Tak ada jawaban.

Gue ketuk lagi pintunya, tak dapat jawaban.

Gue mendadak panik. Mengetuk terus beberapa kali, namun tak ada lagi sahutan.

Dengan nekat kurang ajar, gue membuka pintu ruangan tersebut.

Mataku melebar panik melihat sosok Jehan bersandar di kursi sofa dengan ringisan lemah dan lemas.

Aku spontan menghampirinya.

"Pak Jehan?"

Mata itu terbuka dan menatapku super duper lemas.

"Bella...?"

Gue menaruh tas gue di atas sofa dan berlutut di samping Pria itu. Menatapnya khawatir dan memegang dahinya pelan.

Singkat, padat, menggigil.

Gue menghela nafas dan terduduk. Mengambil ponsel dan menelfon manager nya.

Setelah panggilan ke tiga kali, baru diangkat.

"Hallo Bella? Ada apa menelfon pagi-pagi buta?"

Bella menatap Jehan yang meringis di tempatnya dan menjawab Aghna.

"Pak Aghna, Pak Jehan drop di kantor."

Suara panik di balik telfon membuat gue mengangguki semua apa yang di bilangnya.

Menutup telfon dan menaruhnya di atas meja depan sofa.

Gue menatap Jehan yang meremas pelan pergelangan tangan gue.

"Pak, bisa berdiri?" tanya gue.

Gelengan frustasi dari Jehan membuat gue menghela nafas.

"Gak bisa, Bella... Kepala saya sakit."

"Yaudah, tunggu sebentar Pak. Pak Aghna menuju kesini."

Gue diam sejenak, berfikir cepat apa yang harus gue lakukan.

Tiba-tiba ide untuk mengompresnya terselip. Gue memutar pandangan, mencari sesuatu yang bisa di pakai untuk mengompres Jehan.

Badannya dingin, tapi tubuhnya luar biasa mengeluarkan keringat. Bahkan gue bisa lihat, kemeja putihnya menjiplak karena basah keringat.

Tapi, ngomprea orang panas dingin tuh boleh gak sih?

Bodo lah! Yang penting gue harus melakukan sesuatu.

Gue ingin bangkit, namun tangan gue yang di remas olehnya, di tarik agar tetap di tempat.

Gue terkejut.

Pria di hadapan gue itu membuka matanya, dan menatap gue lemah.

Sebelum akhirnya bangkit, menarikku pelan, dan menjatuhkan kepalanya di pundak gue.

Tangannya perlahan melingkar di pinggang gue, memeluk erat seolah butuh sandaran.

Daru nafas hangatnya yang menghembus leher gue, membuat bulu kuduk gue berdiri. Sensasi dari tangannya yang melingkar dan mencengkram kuat pinggang gue, membuat gue meremang.

"Jangan pergi. Saya mohon, sebentar..."

Gue memejamkan mata erat dan mengepalkan tangan. Menahan diri untuk tak memeluknya balik.

Mamah...

Anakmu gagal move on.

Jarak KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang