03. Berserah Diri

106 15 1
                                    

"Jika kita dekat dengan Allah, jika kita memiliki ikatan kuat dengan Dia, jika kita yakin kepada-Nya, maka kita punya segalanya."

🚒🚒🚒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🚒🚒🚒

"Ada apa ini?"

Komandan Fathir seketika mulai berjalan menghampiri keributan tersebut dengan rasa penasaran.

"Dia! Dia yang telah membunuh anak saya. Saya ingin dia di penjarakan!" tunjuk wanita paruh baya tersebut kepada Biru.

"Awas aja! Tunggu." tekannya.

Lalu setelah itu ibu-ibu tersebut kembali memeluk sang anak sambil menangis keras, tiada hentinya.

Fathir menoleh ke arah pria yang masih terdiam menunduk itu, sejujurnya Fathir tahu tentang apa yang dirasakan oleh Biru saat ini. Biru pasti sedang menyalahkan dirinya sendiri, karena ia gagal untuk menyelamatkan orang lain.

"Biru." Fathir menyentuh bahunya.

Sontak pria itu pun mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat kemerahan, seperti sedang menahan tangisnya. Tubuhnya sedikit bergetar, Fathir sampai ikut merasakannya.

"Maaf, komandan. Saya gagal." ungkapnya. Suaranya pelan.

Fathir mengembuskan nafasnya pelan, lalu setelah itu ia memeluknya sambil menepuk-nepuk belakang punggungnya.

"Sudah. Ini bukan salahmu, ini takdir! Kamu sudah berusaha, Biru." sahut Fathir mencoba menenangkan hatinya.

Kaira hanya memperhatikan Biru dengan rasa khawatir, ia ikut merasa kasihan dengannya.

"Nggak, komandan. Saya salah!"

Fathir menggelengkan kepalanya, ia kembali melepaskan pelukannya lalu mulai menatap kedua mata pria tersebut.

"Sudah, kamu istirahat dulu saja." suruh Fathir.

Biru mengangguk pelan, lalu ia mulai berjalan meninggalkan kerumunan dan beranjak untuk duduk di sebuah kursi panjang. Pria itu mengusap wajahnya gusar, ia tak bisa berhenti memikirkan tentang masalah ini.

"Biru, ibu sayang banget sama kamu."

"Ibu janji gak akan tinggalin kamu.

"Nanti abis pulang mengajar, ibu belikan donat kentang deh buat kamu."

Biru masih teringat dengan ucapan almarhumah ibunya saat lima belas tahun lalu, hari itu Biru sedang sarapan di ruang makan bersama Abi dan ibunya, sedangkan adiknya saat itu masih tidur di kamarnya. Di rumah kecil itu mereka seperti keluarga yang bahagia, yang tak memiliki beban sedikitpun, ruang makan itu penuh dengan cerita. Tawa, canda semuanya bahagia, ya meskipun hidup mereka terbilang sangat sederhana.

Janji Ksatria BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang