Selamat ulang tahun, Park Jimin. Maaf sudah menjaga jarak denganmu selama enam bulan lamanya. Pasti ada banyak hal yang tidak kuketahui tentangmu belakangan ini, kau juga begitu. Kau tahu, aku sekarang pandai menggambar desain pakaian. Banyak orang yang bilang kalau gambaranku bagus. Kau pasti kesal karena aku tidak menunjukkan satu gambar pun sampai kau membaca surat ini, hehe.
Jimin-ah, kau tahu sesuatu? Kadang-kadang aku merasa kalau kita berada di hubungan yang salah. Hubungan pertemanan laki-laki dan perempuan itu ambigu, sering disalahartikan dan tidak bisa dianggap remeh. Hanya ada beberapa orang hebat dan profesional yang benar-benar bisa berteman dengan baik, sayangnya aku bukan orang yang seperti itu.
Mungkin kau merasa bahwa kau bisa berteman denganku, Ji. Tapi aku tidak bisa. Jujur saja, pernyataan bodoh malam itu bukan candaan. Aku serius, sangat serius sampai aku mendekam di dalam kamarmu selama dua jam karena malu.
Aku kesal karena kau tidak bisa melihatku sebagai seorang perempuan. Aku tahu, aku yang salah karena menuntutmu merasakan hal yang sama denganku. Itu tidak bisa dibenarkan, karena manusia memiliki perasaannya sendiri-sendiri. Kau juga masih menyukai Sulgi, aku sangat paham dengan hal itu. Makanya aku memilih untuk menyibukkan diri agar bisa menampakkan diri di depanmu sebagai orang yang hebat karena tidak menyukai sahabat sendiri.
Jadi, ya, begitu. Aku tidak tahu harus menulis apa lagi di sini. Kurasa aku sudah terlalu blak-blakan dan berbuat kesalahan karena menulis semua yang ada di atas sana. Sudah, lupakan saja. Selamat ulang tahun, semoga kau dan Sulgi bahagia selalu!
-
-
-
"Han Yuna."
"Hadir."
"Park Jimin."
"Hadir."
"Ji Sangwon."
"Hadir."
"Kang Seulgi."
Aku berani bersumpah, saat itu jantungku berdebar kencang saat nama itu disuarakan Ibu Dosen yang berada di depan sana. Aku membulatkan mata, sangat menantikan suara yang menyahut nama itu.
"Hadir."
Aku langsung menoleh ke sumber suara, melihat seorang gadis dengan pipi penuh yang baru saja menjawab. Dia punya rambut panjang yang lurus, mata sipit, pipi gembul, dan bibir tipis yang sekarang sedang tersenyum ke teman di sebelahnya. Senyuman itu menciptakan lekukan senyum yang khas, aku belum pernah melihatnya sama sekali.
Lupakan tentang itu, jantungku berdebar bukan karena presensi gadis itu. Ada anak lain yang bersama nyaris sama dengan Seulgi, mantan kekasihku sendiri saat SMA.
Saat itu, semesta seolah menyuruhku untuk terus berhubungan dengan Seulgi. Aku satu kelompok dengannya di tugas kelompok pertama di perkuliahan, arah rumah kami searah, dan kami naik bus yang sama untuk pulang-pergi ke kampus. Seulgi ternyata juga orang yang sangat menyenangkan, ramah lingkungan, dan ceria. Aku hanya pernah melihatnya menangis satu kali seumur hidupku, itu adalah saat di mana ayahnya mengalami kecelakaan dan sedang berada di masa kritis. Selebihnya, dia selalu riang gembira, seolah tidak ada beban di bahunya sama sekali kecuali mendapat nilai yang memuaskan di KHS-nya.
"Kalau mau, kita bisa pakai bersama. Buku ini, kan besar." Aku masih ingat bagaimana dia menawarkan buku besar yang tebal itu untuk digunakan bersama. Waktu itu aku belum membeli buku karena uang tabunganku belum cukup, dan Seulgi sudah punya karena dia membelinya dari kakak tingkat sebelumnya dengan harga miring. Alhasil, kami selalu duduk bersebelahan dan buku itu berada di tengah-tengah, aku yang memegangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
a relationship || seulmin
Fanfiction[seulmin fanfiction || completed] Sejauh apa pun Park Jimin pergi, dia tetap milikku. Bagaimanapun seorang Kang Seulgi, dia tetap milikku. a story by kyshe Start: 10 Desember 2020 End: 4 Agustus 2024
