26th of December, 2021
"Kau lihat ini?" Chaeyoung mengangkat tinggi-tinggi sebuah syal rajut berwarna cokelat itu, lalu menjatuhkannya begitu saja ke lantai.
Tak sampai disana, dia menginjak-injak benda yang sudah Jisoo buat selama 3 hari lamanya hingga membuat gadis itu kekurangan waktu tidur.
Ketika hasil kerja kerasnya tak dihargai sang adik, perasaan Jisoo seperti dicabik. Terlebih tatapan penuh kebencian itu kini menusuknya hingga relung hati.
"Jangan buang waktumu untuk hal seperti ini. Karena sampai kapan pun aku tak akan sudi menerima sesuatu darimu." Perkataan itu mampu membuat kedua mata Jisoo berkaca.
"Chaeyoung-ah, tidak bisakah sekali saja kau menerimaku? Tidak bisakah kau menggenggamku seperti yang Lisa lakukan?"
Chaeyoung terkekeh ketika Jisoo sudah membawa nama adik mereka. Apakah Jisoo sadar telah meminta hal yang mustahil pada Chaeyoung?
"Aku bukan Lisa si bodoh itu." Chaeyoung tentu tak mau jika disamakan dengan Lisa walau mereka berstatus saudara kembar.
Lisa yang selalu mengalah berbeda sekali dengan Chaeyoung yang memiliki hati begitu keras. Entah rasa sakit apa yang membuat gadis itu tak bisa membuka diri untuk kakak kandungnya sendiri.
"Bagaimana agar kau memaafkanku? Apakah aku harus bicara pada Appa dan---"
"Jika kau menghilang... Mungkin aku akan berpikir untuk memaafkanmu." Setelah mengatakan itu, Chaeyoung berlalu dari sana.
Diabaikan oleh adiknya sendiri, bahkan diberikan kalimat-kalimat kasar setiap hari membuat Jisoo berpikir. Apakah memang keberadaannya ini salah? Jika saja ia tak ada, apakah ketiga adiknya akan bahagia?
Karena sekeras apa pun dia berusaha mendekatkan diri pada mereka, selalu saja penolakan yang Jisoo terima. Semakin lama, rasa sakit di perasaannya membuat Jisoo putus asa.
Memukul dadanya karena terlalu sesak, Jisoo meluruh ke lantai dengan tangis sesegukan. Memandang syal rajut itu sejenak, lalu memejamkan mata karena ucapan Chaeyoung masih terngiang di kepalanya.
Dia memang selalu merasa berada dalam jurang yang gelap jika menerima perlakuan seperti itu dari adik-adik yang ia sayangi. Namun adakalanya, dia kembali mendapatkan cahaya untuk pergi dari dasar jurang itu.
Dekapan hangat yang tiba-tiba ia rasakan, membuat Jisoo memberanikan diri untuk membuka matanya. Aroma vanilla yang menjadi candu untuknya itu benar-benar menenangkan Jisoo.
"Tidak apa. Masih ada aku disini." Lisa melepaskan dekapan itu. Tersenyum begitu hangat hingga Jisoo mampu melupakan luka di hatinya yang masih basah.
Lisa baru saja pulang dari Jerman, setelah satu minggu berapa di sana untuk melakukan pekerjaan sebagai Photographer. Lisa berharap, dia bisa disambut dengan hangat. Namun yang ia lihat justru hal yang membuat perasaannya sangat sakit.
Meraih syal yang sedikit kotor itu, Lisa mendekapnya sebentar.
"Biar aku yang memakai ini."Lisa sebenarnya tidak bisa mengerti, mengapa kedua saudaranya terus marah pada Jisoo yang bahkan menyayangi mereka.
"Mulai sekarang, hanya buatkan untukku saja. Kau tidak perlu melakukannya untuk mereka. Karena aku akan cemburu." Adik bungsu Jisoo itu selalu bisa membuatnya bahagia walau ada di tengah badai besar.
Jisoo mampu tersenyum dengan mengusap air matanya kasar. Kepulangan Lisa yang sudah ia tunggu sangat lama ini benar-benar membuat hatinya kembali berbunga.
"Aku membawakan ini. Bunga Astrantia. Bunga ini melambangkan kekuatan dan kesabaran. Aku berharap, Unnie bisa memiliki kekuatan hingga tak mudah jatuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow
FanfictionBayangannya tidak bisa digapai, sekalipun dikejar. Tapi bayangan itu selalu mengikuti, kemana pun langkahnya pergi. Seandainya, bayangan itu bisa digenggam akan terasa lebih baik.