21st of June, 2024
Suara tangis yang memenuhi kepalanya itu perlahan menjadi samar dan menghilang. Ketika membuka mata, rasa mual itu membuatnya terdiam sejenak.
"Unnie," panggilan itu membuat Jennie menoleh. Ia mendapati Chaeyoung sedang menatapnya khawatir.
"Chae..." Jennie melirih. Sejenak berusaha mengendalikan dirinya yang seakan ingin melampiaskan rasa sedih dan marahnya.
"Lisa... Dimana dia?"
Chaeyoung memejamkan matanya. Ketika melihat betapa terlukanya Jennie, ia lupa dengan lukanya sendiri. Mengapa ia sangat egois selama ini? Mengapa ia membiarkan Jennie hidup dengan luka sebesar itu?
Seharusnya sejak awal Chaeyoung paham, jika luka Jennie jauh lebih besar darinya. Jennie, yang kala itu harus melihat bagaimana maut merenggut sang adik. Tepat di depan matanya. Bersamaan ketika Jennie memiliki banyak harapan bersama sang adik.
"Mianhae, Unnie." Dan hanya kalimat itu yang mampu Chaeyoung ungkapkan.
Dua tahun belakangan, Chaeyoung berusaha mati-matian untuk bertahan hidup. Ia terlalu memikirkan dirinya sendiri, hingga lupa ada Jennie yang juga sangat merasa kehilangan.
Senadainya saja ia sadar sejak awal, mungkin luka keduanya mulai membaik. Karena mereka bisa mengobati satu sama lain.
"Lisaku.... Semua itu hanya mimpi kan, Chae? Dia hanya sedang pergi bekerja kan?" Dan selama 2 tahun ini, Chaeyoung sama sekali tidak tahu bahwa Jennie masih terbelenggu dengan rasa sakit di masa lalu.
Chaeyoung tidak tahu, bahwa Jennie terus datang kepada Psikiater karena bayang-bayang kejadian itu masih terus menghantuinya. Chaeyoung jadi ingat, ketika Jennie pernah tak pulang selama satu minggu beberapa bukan lalu. Yerin baru saja memberitahu Chaeyoung, jika Jennie pernah di rawat karena selalu berteriak marah pada siapa pun di sekitarnya. Terus meminta adiknya dikembalikan.
"Tolong hubungi dia. Tolong suruh dia pulang, Chae. Aku merindukannya." Jennie meraih lengan Chaeyoung. Meremasnya pelan dengan tatapan memohon.
Melihat kondisi Jennie, tangis gadis itu pecah. Ia ingin sekali menghibur Jennie. Mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Namun bagaimana bisa jika ia pun sedang rapuh?
Chaeyoung bukanlah Lisa yang selalu kuat. Chaeyoung bukan Lisa yang tak pernah menangis walau hidupnya sangat berat. Chaeyoung benar-benar tidak bisa menjadi Lisa, yang selalu menjadi genggaman semua orang.
"Tidak bisa, Unnie. Lisa tidak akan bisa pulang lagi. Dia sudah menemukan taman bunga impiannya." Dengan suara gemetar, Chaeyoung mengatakan hal itu.
Mendengar kalimat Chaeyoung, Jennie seakan tertampar begitu keras. Ia seperti kembali pada kenyataan. Bahwa Lisanya memang sudah tak ada. Lisanya sudah tak bisa ia gapai sekeras apa pun.
"A-Andwe..." Seperti mengulang kejadian 2 tahun lalu, Jennie tenggelam dalam keterpurukan yang begitu menyiksa. Hingga tangis itu tak bisa ia tahan lagi.
"Bagaimana ini, Chaeyoung-ah?" Jennie semakin meremas lengan Chaeyoung.
"Bagaimana aju hidup tanpanya? Bagaimana aku bisa berdiri tanpa genggamannya?" Melihat keadaan Jennie seperti ini, benar-benar mengingatkan Chaeyoung dengan masa lalu.
Jennie yang jatuh dalam kegelapan terdalam, benar-benar sulit untuk bangkit. Karena siapa yang akan membantunya? Semua orang ternggelam dalam luka masing-masing. Tanpa berniat saling menggenggam untuk bangkit bersama.
"Ada aku, Unnie." Namun hari ini berbeda. Chaeyoung tidak ingin lagi egois dan hanya memikirkan lukanya.
Ia akan ada di sisi Jennie seperti saat Lisa masih bersama mereka. Walaupun berat, jika bersama bukankah tidak masalah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow
FanfictionBayangannya tidak bisa digapai, sekalipun dikejar. Tapi bayangan itu selalu mengikuti, kemana pun langkahnya pergi. Seandainya, bayangan itu bisa digenggam akan terasa lebih baik.