prolog

124 62 21
                                    

Ketika semua remaja di luar sana bersenang-senang dengan teman-temannya, gadis ini hanya bisa terbaring lemah seraya menatap keluar jendela dengan tatapan yang kosong.

Tidak ada kehidupan yang indah setelah kejadian itu, tidak ada lagi kebahagiaan bersama teman-teman dan kisah cinta yang indah. Semuanya terjadi begitu saja tanpa dia sadari, takdirnya akan menjadi buruk sejak saat itu.

Rasanya sangat frustrasi dan juga kesal. Dia ingin berlari tanpa ada beban, ingin bercerita dengan teman-teman, pergi berbelanja dan juga berkencan. Namun takdir baiknya tidak memihak, dia justru terbaring lemah di dalam ruangan putih berbau obat-obatan yang menyengat hidung, ditemani oleh suara mesin jantungnya.

Ellia Charlotte, gadis berumur 19 tahun itu hanya bisa berbaring lemah diatas kasur rumah sakitnya. Kesehariannya hanya berbaring tanpa melakukan aktivitas apapun, tidak ada teman dan juga kekasih, hanya ada dirinya sendiri.

Tangannya yang tertancap infus bergerak meremas dadanya yang terasa sesak bersamaan dengan itu pula garis di dalam mesin pendeteksi jantungnya bergerak tidak beraturan. Nafasnya menggebu-gebu rasa sesak didadanya seperti ada batu besar yang menimpa, begitu berat dan menyesakkan.

Pandangannya kabur, disisa-sisa tenaga tangannya yang bebas berusaha memencet tombol darurat, berharap jika dia memencetnya dokter akan segera datang dan berlari. Dan setelah susah payah menekan-nekan tombol tersebut, akhirnya dia dapat melihat seorang dokter dan juga suster mendatanginya.

"Aku ingin hidup lebih lama, aku ingin jatuh cinta dan berteman. Apa aku masih ada kesempatan?"

*******

Jika Ellia tidak bisa hidup dan berbaur lebih lama dengan dunia, berbeda dengan pria ini.

Seseorang selalu menginginkan hidupnya abadi, tidakkah mereka tau bahwa hidup abadi juga sangat membosankan. Harus melihat orang-orang yang kita cintai satu persatu tiada. Setelah kematian orang yang kita cintai, harus berbaur kembali dengan orang baru.

Menganal satu sama lain, mencintai dan dicintai, bersenang-senang hingga lupa bahwa suatu saat nanti akan berpisah, dengan cara asing, mencari kehidupan masing-masing, dan mati. Semuanya terus saja diulang hingga kehidupan kehidupan yang akan mendatang, sakit hati dan sembuh kembali, semuanya terus saja diulang bak film lama yang diputar kembali.

Owen Phoenix, pria itu duduk termenung di atas dahan pohon yang cukup tinggi, menatap jauh lampu-lampu yang menyala di kota sana. Rasanya sangat kosong dan membosankan.

"Aku juga ingin mati."

**********

Sebuah kebetulan, seseorang yang memiliki keinginan akan keabadian hidupnya dan seseorang yang ingin keabadiannya segera berkahir. Bertemu menjadi teman, sahabat, dan kekasih. Berbagi cerita yang begitu menyenangkan, dan menyedihkan.

Meski awalnya mereka tidak akrab, tapi takdir mereka membuatnya harus berdekatan dan menjadi akrab.

Dua orang itu adalah Owen dan Ellia. Bagi Ellia, Owen adalah sosok yang menganggapnya berbeda dari kebanyakan orang-orang menganggapnya, dan bagi Owen, Ellia adalah sosok manusia yang berbeda dari kebanyakan manusia yang pernah dirinya temui.

"Aku ingin keabadianmu, Owen." Pupil hitam tanpa kehidupan itu menatap dalam pupil emas gelap di depannya.

Sang pemilik manik emas memalingkan wajahnya, menyedihkan sekali saat menatap mata Ellia yang begitu frustasi.

"Aku ... Aku juga menginginkan kematianmu."

Percakapan yang begitu ambigu bagi siapapun yang mendengarnya, tapi bagi Owen dan Ellia itu adalah kalimat yang penuh arti.

********

hlo semoga suka sma cerita yg ku tulis ini yaaaa;)
doain aja moga aku konsisten nulisnya biar bisa nulis smpe tamat, soalnya ceritaku yg sebelumnya ku unpublish karena? karena apa? karena aku habis ide, sebenarnya aku tuhh agak ragu juga mau publish cerita iniii.

udh eh mlh curhat aku, jgn lupa votmen ya kawan-kawan kita slg dukung. lopp uuuuu💋💋💋

Eternity and DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang