Bab 8 Hilang!

35 4 0
                                    

Hania terpaku cukup lama menatap ranjang besar yang ada di hadapannya. Bukan karena bunga-bunga yang membentuk pola hati atau dua kodok yang terbuat dari handuk sedang berciuman teronggok di atas ranjang besar itu. Tapi, ini tentang bagaimana caranya ia dan Kenan bisa tidur di ranjang yang sama untuk beberapa hari ke depan!

"Harusnya pesan vila yang banyak kamarnya saja, Pak."

"Kamu mau kita kena gosip karena tidur di vila yang banyak kamarnya tapi kita ini hanya berdua di sini?"

Itulah secuil pertengkaran Hania dan Kenan di lobi tadi. Berakhir dengan kekalahan di pihaknya.

Tengok pihak yang menang sekarang! Dia tampak begitu asyik bercengkrama di balkon yang tepat menghadap laut dengan seseorang yang entah siapa di seberang telepon sana.

Mungkin mantannya?

Mantan yang mana nih?

Bisa jadi. Karena raut wajah Kenan sekarang benar-benar tampak diliputi kebahagiaan. Senyumannya tak meredup barang sedikit pun!

Jangan tanya bagaimana perasaan Hania sekarang. Selain bingung, dia juga cemas.

Siapa juga perempuan yang tak cemas kalau terpaksa harus tidur berdua dalam beberapa hari ke depan dengan seorang pria asing?

Yah ... meskipun secara harfiah, Kenan itu suaminya. Tapi, catat! Itu hanya tertulis di kertas saja. Tidak secara nyata!

Maksudnya, Kenan bagi Hania tetaplah laki-laki asing yang tiba-tiba masuk ke kehidupan pribadinya.

Hania menarik kopernya mendekati sofa. Ia langsung menjatuhkan diri di sana, bersiap memejamkan mata setelah lebih dari 2 hari bergelut dengan acara pernikahan. Sangat-sangat melelahkan! Hania tak punya cukup waktu untuk istirahat dengan benar!

"Kenapa kamu tidur di sofa?" tanya Kenan yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam kamar hotel.

Hania yang terperanjat langsung mengambil posisi duduk tegap. Mendadak salah tingkah.

"Yah ... tidur. Emang kenapa, Pak? Salah?"

Kenan memijit pelipis sambil tersenyum tipis. "Memangnya kamu ini Bima sampai tidur di sofa? Kan ada ranjang, Nia."

"Tapi, gak mungkin juga kan Pak Kenan tidur di sofa, sementara saya di ranjang?"

"Maksudnya? Tunggu! Tunggu! Maksud kamu, saya tidur di sofa kalau kamu tidur di ranjang?"

Hania mengangguk cepat.

"Hey! Kita ini suami-istri, Nia. Bagaimana mungkin kita tidurnya terpisah?!"

"Eh? Enak aja!" Hania spontan merangkul dirinya sendiri. "Saya gak bisa tidur sama laki-laki asing! Gak bisa! Gak bisa! Meskipun kita ini udah jadi suami-istri, tapi kan pernikahan kita ini cuma kontrak doang! Bukan nikah sungguhan! KONTRAK, Pak! KON-TRAK!!! Pak Kenan lupa?"

"Ooohhh ... sepertinya kamu juga lupa, Nia? Jika dalam perjanjian pernikahan kita, kita berdua punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan layaknya suami-istri sungguhan! Jadi, bukan masalah besar kalau kita tidur di ranjang yang sama, bukan?"

"Tapi -" Hania mendadak gagap. Mati kutu!

"Kalau sampai kamu berani tidur di sofa, maka jangan salahkan saya kalau saya sendiri yang akan memindahkan kamu ke ranjang nanti."

Kenan melewati Hania dengan santai menuju kopernya. Membukanya, lalu mengambil beberapa baju, melangkah melewati Hania lagi, lalu masuk ke kamar mandi. Selama itu Hania hanya mematung tanpa bereaksi. Mati-matian menahan diri untuk tidak menangis!

Baru setelah Kenan dipastikan berada di dalam kamar mandi, Hania langsung berlari keluar dari vila sambil memegangi dadanya yang mendadak sesak. Berjalan di jalan yang menghubungkan vila satu dengan lainnya dengan tertatih, Hania yang tak kuasa lagi menahan matanya yang sudah berair tiba-tiba berjongkok. Saat itu tampak ada beberapa tamu berjalan melewatinya namun langsung diabaikan Hania. Ia berjongkok sambil menutupi wajahnya, menyembunyikan tangisnya.

Sementara itu di dalam kamar hotel, Kenan tampak sibuk mencari Hania ke setiap sudut ruangan sambil memanggil nama perempuan itu. Nihil! Balkon, kolam renang kecil yang ada di sana, bahkan laut yang mungkin saja Hania ada di sana untuk sekedar berenang, tak menunjukkan adanya jejak-jejak keberadaan Hania.

Kamar mandi? Tak mungkin. Karena ia baru saja memakainya. Kenan bahkan sampai mengecek kolong ranjang untuk mencari Hania, tapi keberadaannya tak ditemukan juga. Ponsel, dompet, dan barang berharga milik Hania bahkan ada di sofa.

"Ke mana dia?"

Satu menit, dua menit, Kenan masih bisa bertahan untuk tidak mencemaskan keberadaan Hania. Tapi, selang lima menit, Kenan mulai gusar karena Hania tak kunjung menunjukkan diri. Kenan berjalan ke area luar vila, celingukan sambil menyusuri jalan penghubung antar vila, berusaha menemukan setitik sosok yang dicarinya sejak tadi.

Hingga ia menemukan sosok tak asing di kejauhan. Kenan sangat ingat kalau tadi Hania memakai kerudung berwarna hitam. Mirip dengan sosok yang tampak sibuk bercengkerama di bibir pantai entah dengan siapa.

Kenan mempercepat langkahnya dengan tidak mengalihkan perhatian dari sosok Hania. Ia melihat perempuan itu tampak menaiki sebuah jet ski yang sedetik kemudian melesat ke tengah lautan.

Sementara itu, dengan satu teriakan keras, Hania melajukan jet ski dengan kecepatan penuh. Butuh waktu cukup lama meyakinkan petugas untuk bisa mengendarai jet ski ini. Itu semua karena kebodohannya sendiri yang meninggalkan semua barang pribadinya di vila. Beruntung ada petugas yang mengenalinya sebagai istri Kenan. Berkat identitasnya itu Hania akhirnya mendapatkan izin untuk memakai fasilitas satu ini.

Sebut saja keberuntungan bekerja dengan Kenan bukan hanya dari jumlah gajinya yang lumayan. Hania juga dapat merasakan kehidupan yang berbeda dari apa yang selama ini ia rasakan. Salah satunya adalah belajar mengendarai jet ski berkedok dinas ke luar kota.

Cukup banyak skill tambahan yang akhirnya Hania dapatkan berkat bekerja dengan Kenan. Wawasannya semakin luas, pertemanannya tak hanya sekedar lingkup di dalam kantor, termasuk skill dalam mengendarai sesuatu. Sepeda motor, mobil, jet ski, bahkan menaiki kuda, bukan lagi masalah besar untuk Hania. Ia terbiasa mempelajari sesuatu yang baru tanpa rasa takut.

Yap! Ini semua karena Hania dituntut harus serba bisa menjadi asisten pribadi Kenan.

"Kenan sialaannn!!!" teriak Hania kencang. Bersamaan dengan laju jet ski yang ia percepat.

"Kenan gila!"

Berulang kali Hania berteriak hanya berisi makian untuk Kenan. Bahkan ketika laju jet ski ia pelankan demi hanya sekedar merasakan embusan udara di tengah-tengah lautan, ia masih sempat mengumpati laki-laki itu.

"Dasar otak mesum! Kalau bukan gara-gara gue butuh dia biar bisa balas dendam, gue gak bakalan mau nikah sama lo, Kenan! Lebih baik gue jadi jomblo selamanya! Aaarrrggghhh!!! Kenan sialaaan!!! Atasan gilaaa!!!"

"Hania! Kamu menyumpahi saya barusan???"

Sebuah teriakan tak asing samar-samar terdengar. Hania seketika melajukan jet skinya dengan cepat menghindari Kenan yang tiba-tiba muncul di atas sebuah jet ski juga. Melaju ke arahnya.

"Berhenti! Hania! Berhenti saya bilang!!!"

Hania jelas tak menggubris. Ia semakin melajukan jet ski, berbalik arah ke tepi pantai. Berusaha menghindari Kenan yang baru saja memergoki dirinya tengah mengumpatinya.

"Aaarrrggghhh!!! Kok dia bisa tahu gue di sini???"

DIPAKSA JADI JODOH (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang