16 | Kejadian di Ruang BK

300 32 12
                                    

Setelah kejadian tersebut, yaitu Roselin yang membuat Lukas serta Casey dan Kipli masuk BK kini keempatnya telah ada di dalam ruang BK.

Pak Petran, selaku guru BK yang bertugas untuk menangani hal tersebut duduk di kursinya seraya bersedekap tangan. Ia menatap tenang keempat murid yang hanya duduk diam termenung-kecuali siswi yang masih sesenggukan karena menangis tadi, yaitu Roselin.

Mereka semua sedang menunggu para wali murid untuk datang ke sekolah atas panggilan langsung dari sekolah sendiri. Pak Petran melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Sudah berapa lama ini? Wali-wali keempatnya tidak kunjung menampakkan batang hidung mereka sampai sekarang. Pak Petran menghela nafas pelan, ia menumpukkan kedua tangannya ke atas meja kaca hitam dihadapannya. Papan nama berdiri di sana.

"Jadi, ada yang perlu di jelaskan?" Suaranya agak menusuk memang. Kedua mata Roselin tiba-tiba berkaca-kaca, ia mulai berbicara diselingi oleh isakan kecil.

"K-kak Lukas ngedorong Selin pak...." Roselin mulai terisak. Pak Petran nampak tertekan, siswi yang satu ini benar-benar sangat suka menangis sekalipun di hadapannya ada guru.

"Ada pembelaan?" tanya Pak Petran di tujukan oleh Lukas yang memasang air muka tidak terima atas penjelasan Roselin tadi, siswa yang satu itu mengepalkan telapak tangannya di atas paha.

"Saya nggak ngedorong dia pak," bela diri Lukas. Kipli di samping kiri mengangguk setuju, ia juga ikut membela Lukas.

"Memang benar pak, Lukas sama sekali enggak ngedorong Roselin, dia jatuh sendiri," bela Kipli mantap.

"Kami berdua adalah saksinya pak," Casey dengan berani ikut membela, ia menatap lurus Pak Petran.

Pak Petran tidak menyahut. Guru BK itu hanya duduk dan menyenderkan punggungnya ke kursi, tangannya ia sedekapkan lagi. Ketiganya memang nampak tidak berbohong. Air mukanya benar-benar meyakinkan.

Setelah beberapa detik kemudian pintu di ketuk pelan dari luar. Pak Petran mempersilahkan masuk, para wali murid di hadapannya sudah tiba sekarang ini.

Devano yang memakai setelan jas, ibu Casey, serta ibu Kipli. Ketiganya masuk secara bersamaan. Devano langsung menghampiri Roselin. Ia menjejerkan tingginya dengan sang putri kesayangannya.

"Selin."

Roselin memeluk Devano. Ia terisak, "Papa... Hiks...."

Devano marah. Dirinya ingin sekali memukul anak cacat tidak tahu diri yang sekarang ini memasang air muka tidak bersalah di dekatnya itu. Tapi, citra dirinya masih harus di agung-agungkan di sekolah ini. Membuat dirinya hanya bisa menggeram rendah seraya menatap tajam ke arah Lukas.

"Eh om, matanya tolong di kondisikan." Casey yang berani langsung bercelutuk. Apa-apaan tatapan yang seakan mengintimidasi sahabatnya, dirinya kesal. Pemuda itu menatap sinis Devano.

"Yang sopan kalau bicara kau anak miskin." Keluar sudah kalimat yang ditahan-tahan oleh Devano demi citranya. Ibu Casey yang tak terima melangkah maju.

"Tuan, walaupun kami miskin tapi anda masih tetap tidak bisa berkata seperti itu."

Devano memutar bola matanya jengah. Berbicara dengan orang miskin benar-benar menyusahkan.

"Lalu aku harus berkata apa hah?"

Ibu Kipli yang di samping kiri ibu Casey hendak membalas, tapi suara Pak Petran menginterupsi terlebih dahulu. Pak Petran berdiri. Ia mempersilahkan para wali murid guna duduk di tempat duduk dan membicarakan masalah ini dengan kepala dingin.

"Bapak dan ibu wali murid, tolong jangan memperlihatkan sikap tak pantas kalian. Lebih baik anda sekalian membicarakan masalah ini dengan kepala dingin."

AM I LUKAS?[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang