04 | Pulang

742 69 5
                                    

Devano menunduk di taman yang berada di rumah sakit.

Hatinya sakit ketika putri satu-satunya terbaring pingsan dan sempat mengejang di tempat dini hari tadi, dan sekarang putri kecilnya harus berada di rumah sakit kembali.

Tak cukup dengan putrinya yang sakit kembali, sang istri pun harus terbaring di ranjang pesakitan juga karena ia pingsan setelah mendengar kabar buruk dari dokter yang menangani putrinya.

Karena kini putri satu-satunya, berlian yang ia jaga harus kembali drop setelah sekian lama tidak menunjukkan gejala orang yang memiliki penyakit dan dokter menyampaikan untuk segera mendapatkan pendonor untuk Gevani yang tengah bertarung hebat dengan penyakitnya.

Penyakit jantung, penyakit yang memiliki persentase kematian yang cukup tinggi di dunia.

Jantung Devano kini berdetak kencang ketika mendapat telfon dari dokter yang mengabarkan jika Gevani tengah kritis dan diminta untuk segera menuju ke ruang rawat milik Gevani.

Dengan tergesa-gesa Devano berjalan ke ruang rawat anaknya, ia bahkan sempat menabrak beberapa bahu milik orang asing selama perjalanan. Beberapa umpatan Devano dengar dari mulut orang-orang yang bahunya tak sengaja ditabrak oleh Devano, namun tak satupun dari mereka yang ia hiraukan. Karena baginya, kini keadaan Gevani lebih penting dari apapun.

Ketika pintu ruang rawat milik putrinya terlihat, Devano langsung menambah kecepatan langkahnya.

Tangannya meraih gagang pintu di hadapannya. Namun ketika akan membuka pintu, dirinya ditahan oleh seseorang. Hampir saja amarah Devano meledak, namun amarah tersebut langsung menguap begitu tahu yang menahannya adalah dokter yang menangani putrinya.

"Maaf, Pak Devano, saat ini pasien tidak bisa dijenguk untuk sementara waktu. Pasien membutuhkan perawatan intensif sehingga ruangannya tidak boleh dimasuki kecuali oleh dokter dan perawat yang telah memakai pakaian yang steril." Pria dengan jas putih menjelaskan mengenai kondisi gawat darurat Gevani hingga ruang rawat Gevani kini tidak boleh ada yang masuk kecuali perawat dan dokter. Itu pun mereka sudah memakai pakaian yang benar-benar bersih dan steril.

Devano menunduk kecewa. "Baiklah, mau bagaimana lagi. Kesembuhan putriku adalah yang utama," ucap Devano dengan raut wajah yang terlihat amat kecewa.

"Sebelumnya maaf pak, apakah bapak memiliki saudara yang rela mendonorkan jantung mereka untuk pasien? Karena tidak ada satu pun ketersediaan jantung di rumah sakit ini yang cocok dengan pasien," tutur dokter dengan tatapan iba mengarah pada Devano.

"Maksud saya, mungkin hanya ini satu-satunya cara yang dapat menyelamatkan pasien karna ring pada jantung pasien yang telah kami pasang sudah cukup mengalami kerusakan. Kami khawatir akan terjadi hal yang buruk pada pasien jika tidak segera melakukan operasi jantung."

Deg

Tubuh Devano membeku mendengar ucapan pria yang memakai jas putih itu. Pikiran Devano melayang dengan kata 'hal buruk' yang menemani pria beranak ti-dua itu.

Lukas...

"Benar, masih ada anak cacat itu," gumam Devano.

Dokter membulatkan matanya. "Bapak mengatakan sesuatu? Maaf tadi saya melamun, bisa tolong ulangi kalimat Anda, pak?" ucap dokter dengan nada menyesal karna tidak mendengarkan ucapan ayah pasien-nya.

"Ah, bukan apa-apa. Aku akan membawa seseorang yang mungkin memiliki jantung yang cocok untuk putriku," ujar Devano dengan penuh keyakinan.

Dengan tergesa-gesa, Devano mencari ponsel di saku celana panjangnya.

Jemarinya dengan cepat mengetik nama putra sulungnya, lalu memencet icon telepon di samping nama putranya.

[Gimana keadaan Gevani, Pah?]

AM I LUKAS?[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang