Peter berlari sekencang yang dia bisa begitu mobil dinas bak terbuka yang dikendarai bawahannya berhenti dengan sempurna di sisi jalan yang minim penerangan itu.
Polisi muda yang bahkan tak sempat memakai seragamnya itu melewati garis polisi dengan tergesa-gesa, mengabaikan beberapa bintara yang memberikan hormat saat melihat lencana yang menggantung di lehernya.
"Pete, kau disini." kolonel Johan, komandan tim yang sudah lebih dulu tiba, menepuk pundak pria yang kini sudah berdiri di hadapannya.
Peter memberi hormat singkat, namun matanya terus tertuju pada area yang dipasang penerangan paling banyak di bawah deretan pohon pinus yang berjejer dengan rapi di area hutan lindung tempat mereka berkumpul saat ini. Beberapa petugas INAFIS tampak sedang melakukan tugasnya memeriksa TKP.
Meskipun sebelumnya sudah dijelaskan bahwa ini kasus dugaan pembunuhan, Peter tak ingin mengambil kesimpulan, tepatnya dia berharap semua yang dia dengar sebelumnya sama sekali tidak benar.
"Apa identitasnya sudah bisa dipastikan, Ndan?" tanya Peter dengan raut cemas yang kentara.
Johan mengangguk dengan ragu, dia sebenarnya tak berniat memberi tahu Peter sekarang, namun seorang anak buah sialannya malah dengan bodohnya menghubungi Peter dan berakhir membuat detektif yang seharusnya sedang beristirahat di rumahnya itu malah berada disini, dengan penampilan yang tak menggambarkan identitas Peter sebagai seorang petugas kepolisian sama sekali.
"Jenderal Ronald dan ajudannya." ucap Johan dengan suara tertahan.
Peter menegang, kakinya lemas seketika mendengar ucapan sang atasan, pria itu bahkan harus menahan bobot tubuhnya dengan bertumpu pada kedua lutut agar tidak sampai jatuh ke tanah. Siapa katanya? Jenderal Ronald? Jenderal Ronald yang Peter kenal?
"Saya izin melihat korban, Ndan." izin Peter namun langsung di balas gelengan tegas Johan.
"Tidak sekarang Pete, ini juga bukan jam kerjamu!"
"Saya mohon Ndan. Saya perlu memastikan, siapa tau kalian salah mengidentifikasi karena keadaan gelap gulita begini." Peter memohon sambil menggenggam pundak Johan penuh harap.
"Tidak Peter. Ini perintah!" Johan tetap menolak dengan tegas. Dia paham betul perasaan Peter, dia juga tahu betul bagaimana profesionalitas orang ini saat mengemban tugas, namun karena itulah Johan semakin tak tega.
"Kalian semua peduli pada tugas dan tidak tugas? Sejak kapan orang-orang seperti kita harus dibatasi jam kerja untuk menjalankan tugas?"
"KARENA INI BUKAN KEADAAN DARURAT!" Johan meninggikan suaranya, tak berniat membentak ataupun marah sama sekali. Pria itu hanya berharap agar Peter mau mengerti. Sebenarnya dia juga tak tega melihat Peter yang sekarang sedang berteriak keras sambil mengusap wajahnya frustasi. Namun membiarkan Peter memeriksa jasad itu dengan kedua matanya sendiri, Johan sama sekali tak tega.
"Duduklah dulu Pete."
Peter menghindar saat Johan hendak menyentuh pundaknya, laki-laki itu benar benar tak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya saat ini, mendengar Johan mengatakan bahwa ini bukan situasi darurat saja sudah cukup membuat hatinya semakin hancur.
Yang jelas dia masih berharap bahwa orang-orang itu salah memeriksa identitas korban. Dan kembali melapor dan menyerahkan nama lain.
"Jaga dia, jangan biarkan mendekat ke TKP!" Johan memerintahkan salah satu anak buahnya agar memperhatikan gerak gerik Peter.
"Siap!"
Beberapa menit berlalu, Peter hanya duduk lalu kembali berdiri kemudian berjalan mondar-mandir dengan gelisah sambil terus harap-harap cemas pada hasil pemeriksaan kasar yang dilakukan. Cahaya penerangan yang hanya berasal dari alat penerang yang dibawa oleh anggota kepolisian itu tidak cukup membuat Peter melihat jelas ke TKP yang berjarak beberapa puluh meter dari posisinya sekarang.
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL] ✅
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden