Peter menatap piring berisi nasi dan sepotong tempe yang di letakkan di hadapannya tanpa selera. Meski bibir pucatnya cukup untuk menjelaskan betapa tak bertenaganya ia, Peter sama sekali tak tertarik menyantap makanan yang diberikan seperti memberi makan hewan.
Punggungnya bersandar pada dinding bangunan kosong persegi itu sambil memeluk kedua lututnya. Sudah sekitar enam jam Peter di kurung disini tanpa tahu harus berbuat apa. Tidak ada celah, satu-satunya jalan keluar ya harus lewat pintu.
"Gala aku takut." lirih Peter. Kristal benih yang sejak lama ia tahan akhirnya tumpah juga, rahang kokohnya mengeras menahan isakan, dia hanya tidak mengerti kenapa berakhir seperti ini. Gala hanya pergi bertugas seperti biasanya hari itu, menangkap seorang pembunuh lalu tertembak, namun kenapa Gala tidak ada dimana-mana dan kenapa mertuanya harus menyiksanya di tempat seperti ini. Kalau orang tua itu memang ingin menyiksanya karena hubungan ayah Gala dan ayahnya yang hancur sejak lama, harusnya Jenderal Bumi sudah menjauhkan Peter dari kehidupan Gala juga kan.
"Aku hanya ingin membuatmu merasakan rasanya dipisahkan dari orang-orang yang kau sayangi."
"Papa hanya melakukan tugasnya, lagipula bukan Papa yang menembak mati Mami Gala." gumam Peter di tengah tangisannya yang tertahan.
Beberapa detik kemudian pria itu terkesiap, air matanya seketika tertahan. Ingatannya tiba-tiba terlempar ke waktu dimana dia mengatakan pada Jenderal Ronald kalau ia curiga kematian ayahnya bukan bunuh diri biasa. Berawal dari foto TKP yang memperlihatkan sebuah benda mirip sangkur yang tertancap pada dada ayahnya, namun tak ada sama sekali dalam daftar barang bukti, bahkan tak ada luka semacam itu dalam hasil visum et repertum milik sang ayah. Peter masih terlalu muda memahami hal itu saat kejadian.
"Om Onal, sangkurnya." Peter membulatkan matanya, mengingat potongan sangkur yang juga di temukan di TKP kematian Jenderal Ronald.
Pria itu berdiri lalu berjalan mondar mandir di dalam ruang sempit itu, rasanya ia ingin segera berlari keluar dan menemukan sesuatu yang bisa membantunya memperjelas isi kepalanya.
Sementara di tempat yang berbeda Bumi menatap nanar kearah brangkar rumah sakit yang menampakkan seseorang dengan beberapa alat yang menempel di tubuhnya. Bumi tidak tahu apa yang terjadi, dia hanya deberitahu oleh ajudannya bahwa dokter Faisal bilang, fungsi organ-organ Gala tiba-tiba mengalami penurunan.
"Kenapa jadi seperti ini?" lirih Bumi sembari terus menggenggam jemari puteranya yang terasa dingin.
"Papi tidak pernah mau melukai kamu atau sekedar melibatkan kamu dalam masalah ini, nak. Papi hanya tidak habis pikir, kamu kenapa mau terlibat dengan orang-orang bodoh sialan itu. Tapi Gala tenang saja, Papi akan bereskan mereka semua, supaya tidak ada lagi yang akan mengancam kita. Seharusnya sejak lama memang sudah papi habisi keturunan Evan itu." monolog Bumi. Rahang tuanya mengeras, Bumi benar-benar tidak pernah bisa melupakan dendamnya pada ayah Peter, yang membuat ia dan anak-anaknya harus menjalani hidup yang menyedihkan seperti sekarang.
Tak lama Bumi bangkit berdiri, pria tua itu mencium kening sang putra singkat sebelum beranjak keluar dan meninggalkan rumah sakit, tujuannya saat ini adalah kembali ke rumahnya dan memberi pelajaran pada menantu kesayangannya itu.
"Dimana dia?" tanya Bumi pada anak buahnya sambil melepas seragam dinas yang ia kenakan dan melemparkan ke sembarang arah.
"Dia kami kurung Tuan."
"Bawa dia keruangan tobat." titah Bumi sembari mengganti pakaiannya, lalu merogoh sesuatu di laci meja di dekatnya.
Peter mengerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba masuk ke retinanya begitu kain penutup matanya dibuka. Sebuah ruangan luas mirip gudang dengan satu buah meja kayu berukuran besar di tengah-tengah ruangan. Dan Peter kenal betul, pria bongsor yang duduk di sana itu adalah Bumi.
"Bagaimana rasanya terkurung di ruangan sempit dan lembab itu Letnan?" tanya Bumi di iringi seringai mengejek dari wajahnya.
"Jenderal Ronald... Anda yang membunuhnya?"
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Peter itu sontak membuat Bumi tertawa terbahak-bahak, pria itu memukul mejanya beberapa kali, ntah merasa lucu soal apa. "Akhirnya kamu menyadarinya, nak. Itulah akibatnya kalau bermain-main dengan srigala."
Peter membulatkan matanya, sendi-sendinya terasa kaku seketika, jadi benar ayah Gala membunuh Jenderal Ronald. "Tapi kenapa?" tanya Peter mencoba menguasai dirinya.
Bumi menyeringai. "Kenapa terburu-buru, masih banyak waktu untuk membukakan fakta satu persatu sembari menunggu hari dimana kau akan menyusul ayah angkat mu itu ke neraka."
"Kurang ajar." Peter menggeram berusaha melepaskan ikatan pada tangan dan kakinya, namun nihil.
"Apa salah kami, apa salahku?"
Bumi bangkit, berjalan mendekati Peter lalu mencengkeram rahang nya kuat. "Kesalahan ayahmu adalah menembak mati isteriku, kesalahan Ronald adalah mengingkit kembali kasus kematian ayahmu diam-diam, dan kesalahanmu? Kesalahanmu awalnya hanya satu, hanya karena kamu anak dari Evan. Namun akhirnya aku memutuskan untuk menjadikanmu objek balas dendam."
Peter memejamkan matanya, mencoba mencerna maksud dari kata-kata Bima. "Maksud Anda, Papa saya... Papa saya juga mati karena ulah Anda?"
Seketika Peter memberontak dengan kuat, mencoba bangkit berdiri dan menerjang Bumi. Namun sayang, pengawal pria brengsek itu lebih gesit, mereka tak kalah cekatan untuk menahan Peter, tak lupa memberikan beberapa pukulan ketubuh orang itu.
"Itu hanya utang yang harus di bayar Letnan Peter, utang nyawa dan utang trauma dari dua putra saya yang masih membekas di jiwa mereka sampai saat ini, Galaksi... Kehilangan ingatan jangka panjangnya karena apa? Karena tragedi yang disebabkan oleh keputusan bengis yang di lakukan pria seperti Evan."
Bulir-bulir airmata jatuh membasahi wajah Peter, pria itu membiarkan bobot tubuhnya di topang oleh dua orang yang memeganginya. "Lalu dimana Gala?"
"Gala tidak akan pernah bisa tanpa saya, kalau anda menyakiti saya itu sama saja anda menyakiti putra anda sendiri."
Bumi tertawa. "Menyakiti? Kau pikir dimana Gala saat ini? Aku berhasil membawanya, namun kenapa dia tidak segera mencari dan menemuimu jika memang yang kau katakan itu benar." ujar Bumi sembari tersenyum menang, sebelum berjalan meninggalkan Peter.
"Jangan lupa, beri pelajaran yang tidak bisa ia lupakan. Sisakan nyawanya, sepertinya menarik untuk menceritakan rahasia pada orang yang sekarat." titah Bumi pada anak buahnya.
___________________________________________
"Practice makes everything perfect" mungkin bukan di cerita ini, tapi aku yakin bakal bisa bikin cerita yang lebih keren tentang PoohPavel di next-next try nya aku. Makasih banyak ya yang udah namabahin angka di matanya, that's meant to me!
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL] ✅
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden