"Mereka mulai bergerak, Sersan." ucap seseorang dengan topi dan hoodie yang hampir menutupi seluruh bagian wajahnya saat melihat titik merah pada monitor di depannya bergerak.
"Biarkan saja." ucap pria lain yang duduk di kursi berbeda sambil menghisap rokoknya dengan tenang. "Tujuan kita bukan menggagalkan mereka, tapi membiarkan mereka bekerja untuk kita." sambungnya.
"Lalu apa rencana kita selanjutnya?"
Pria itu menyeringai. "Kita bawa dia menemui Papi."
Sementara itu di tempat yang berbeda, Rey dan Galaksi tidak henti-hentinya terkejut, kedua polisi itu baru saja meninggalkan dermaga dengan kotak berukuran sedang yang mereka yakini sebagai clue yang di berikan Faisal. Gala yang duduk di kursi penumpang, bertugas untuk memeriksa barang-barang berupa potongan surat kabar, foto-foto dengan kualitas yang masih terjaga, catatan runut tentang pandangan Faisal soal kasus Inspektur Evan.
Galaksi menatap lekat dua buah foto berbeda yang menarik perhatiannya, foto sebuah sangkur bersimbah darah yang berisi keterangan ditemukan di TKP kematian Inspektur Evan, lalu ia membandingkannya dengan foto berbeda yang diberi keterangan 'identitas the shadow', kedua sangkur itu terlihat identik.
"Sama persis dengan yang kamu temukan di TKP Jenderal Ronald dan yang dimiliki paspampres itu, Gal." ucap Rey memecah keheningan.
Gala hanya menoleh sejenak, tidak berniat menjawab ucapan Rey. Pikirannya sedang berkecamuk, semakin ia membuka setiap benda yang berada di sana, entah kenapa Gala semakin yakin bahwa bukti-bukti itu mengerucut pada satu orang.
"Kartel Narkoba milik RM tidak benar-benar dibasmi hingga tuntas, buktinya tidak ada penangkapan usai penetapan dua puluh orang tersangka, ini menjadi bukti kalau organisasi itu bisa saja masih terus tumbuh dengan backingan orang-orang besar." Gala membaca dengan seksama kutipan wawancara dari seorang pengamat kriminal beberapa bulan setelah ibunya meninggal, namun yang membuat jantung Gala semakin berdegup kencang adalah berita pengangkatan ayahnya sebagai kasat narkoba dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Polisi menghentikan investigasi kasus tewasnya Inspektur Evan Jayden, penyebab kematian ditetapkan murni sebagai kasus bunuh diri."
"Ditemui di kantornya, Kepala Badan Narkotika Jenderal Bumi Armawan: Kasus Narkoba turun 45% sejak beberapa tahun terakhir."
Gala kemudian menggenggam erat secarik kertas bertuliskan visum et repertum atas nama Evan Jayden. Luka menganga di dada kanan jelas-jelas tertulis di sana.
"Ini hanya spekulasi liar dokter Faisal, Bang. Saya tidak percaya." ucap Galaksi menyingkirkan barang-barang itu dari jangkauannya.
Rey menoleh singkat, pria itu bisa melihat dengan jelas raut kesedihan dari wajah juniornya itu. "Gal, saya tahu kamu sedih dan tidak bisa terima. Tapi kita harus pertimbangkan ini, siapa saja bisa jadi pelaku."
"Seorang Jenderal? Saya bukan mengatakan ini karena dia ayah saya, jika dia bukan ayah saya sekalipun tetapi seorang Jenderal mungkin melakukan itu menurut Abang?" bentak Galaksi, pertama kali dalam hidupnya berani meninggikan suara di depan atasan.
"Selama dia bukan Tuhan, semua orang mungkin berbuat salah." tegas Rey, sama sekali tak terpancing dengan amarah Gala.
"Bagaimana kalau kita buka flashdisk ini? Siapa tahu isinya lebih memperjelas semuanya." ujar Rey sambil mengeluarkan flashdisk yang semula ia kantongi.
"Tolong ambilkan laptop saya, Gal." titahnya sembari terus fokus pada kemudi.
"Abang sepertinya ambisi sekali untuk membuktikan kalau ayah saya terlibat." sindir Gala, bersedekap dan tidak mau menuruti perintah Rey.
Rey menoleh, menatap tajam kearah Gala sembari memperlambat laju kendaraannya. "Saya tidak menyangka hubungan pribadi menyurutkan ambisi kamu, kamu tidak melihat kasus ini dari banyak sisi ternyata Galaksi, kamu bahkan tidak peduli jika orang itu ternyata berlaku jahat pada Peter?"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Kak Peter."
"Tapi Peter adalah isterimu, langkah kita sudah terbaca, kasus ini juga menjadi kacau dan rumit, sekarang Peter bahkan tidak bisa di hubungi. Pikirkan itu Gala."
Gala terdiam beberapa saat sambil memijat pelipisnya, sebelum ia dengan suka rela meraih tas milik Rey dan mengeluarkan laptop dari sana.
"Periksa apa isinya."
Gala menurut, walaupun dengan wajah yang masih sangat datar. Dia memeriksa isi flashdisk itu dengan seksama, hanya ada satu file disana. Gala menarik nafas dalam sejenak, sebelum memberanikan diri untuk mengklik. "Tidak di kunci." pekiknya.
Gala dan Rey sama-sama mengerutkan kening, rekaman sekitar 25 menit itu diawali dengan situasi dimana dua orang yang sedang berada dalam sebuah ruangan berlatar putih. Salah satunya sangat dikenali oleh Gala dan Rey, Jenderal Bumi. Pria itu seperti sedang duduk setengah berbaring pada semacam kursi khusus dengan mata terpejam, di depannya seseorang berpakaian khas dokter dalam keadaan sadar terus berbicara pada Bumi.
"Hipnoterapi." gumam Rey.
Gala memfokuskan pandangannya. "Papi pernah dihipnoterapi?" batinnya.
"Apa yang Anda lihat Inspektur?" tanya dokter itu.
"Evan ... Evan yang sedang tertidur."
"Lalu di mana posisi Anda?"
"Saya memanjat dari balkon kamarnya, mengendap masuk lalu menancapkan sebuah sangkur di dadanya."
"Sangkur? Kenapa?"
"Evan membunuh istri saya, dia memerintahkan rekan kami untuk menembak mati istri saya."
Gala memejamkan mata, ia dapat merasakan kesedihan dalam setiap kalimat yang terucap dari mulut ayahnya. Suara orang itu terdengar bergetar dan ketakutan.
"Lalu kemudian apa yang terjadi?"
"Evan terbangun dan langsung berteriak, kemudian saya mengambil bantal dan membekap mulutnya sekuat tenaga hingga dia tidak bergerak lagi."
"Kenapa Anda menggunakan sangkur kecil itu jika tahu Inspektur Evan tidak akan tewas seketika."
Gala melihat air mata keluar dari sudut mata ayahnya. "Sangkur itu identitas kami, dia merusak identitas itu dan saya hendak membalas dengan identitas itu pula."
"Lalu tentang bunuh diri itu? Bagaimana Inspektur mengatasinya?"
"Itu sebuah skenario yang sudah saya persiapkan sebelumnya."
"Apakah ada orang besar yang membantu Inspektur?"
"Jenderal Kurniawan."
Rekaman itu selesai, wajah Galaksi berubah pucat pasi. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar dan lihat. "Bang?"
"Saya mengerti." Rey menyentuh pundak Galaksi yang menegang karena menahan air matanya yang mendesak keluar. "Sekarang kita ke rumah mu dulu, temui Peter."
Gala mengangguk sebelum meraih ponsel milik Gendis yang bergetar. Manik pemuda itu kembali membelakak sebelum memperlihatkan apa yang baru saja dikirimkan nomer tidak dikenal ke ponsel itu. "Jangan kerumah Bang, kita kerumah Papi, Kak Peter ada disana."
Makasih banget for you guys yang udah baca cerita membosankan ini, udah mau akhir aja, seneng tetep ada pembacanya. Makasih ya ☺
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL] ✅
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden