2

366 74 1
                                    

Dengan langkah yang terus kucapu, hujan deras. Pakaian yang tidak terlalu tebal, aku berada pada titik terakhirku. Aku jatuh ke terotoar. Berlutut di sana karena kakiku terasa mati rasa untuk dilangkahkah lagi. Mendongak ke langit, aku tidak menemukan tanda-tanda hujan akan berhenti.

Aku menunduk akhirnya memandang ke arah perutku. Kuharap dia baik-baik saja. Kuharap dia mengerti dan mau bertahan. Aku tidak akan menyerah jadi aku juga tidak ingin dia menyerah.

Satu mobil berhenti tepat di depanku, Aku menatap ke arah mobil yang sepertinya berhenti di tempat yang salah. Kuperhatikan seksama, mobil itu jelas tidak murah. Apalagi saat seorang pria turun dari pintu di samping kemudi. Dia mengeluarkan payung hitam dan berlari ke pintu belakang. Tergesa dia membukakan pintu untuk jelas adalah tuannya.

Seorang pria keluar dari pintu itu dan segera payung menaungi kepalanya dan memuat dia tidak terkena satu tetes pun air hujan. Aku berusaha memandang siapa sosok tersebut. Sore yang hampir menjelang malam membuat pandangan sedikit agak berkurang.

Tapi pria itu segera mendekat, tidak menunggu sampai aku memandangnya dengan jelas, dia sendiri yang memperjelas dirinya. Dia duduk di depanku, masih dengan payung yang menaunginya. Yang membuat payung itu juga jadi menaungiku.

Dia memandangku seksama. Aku juga balas menatapnya.

Tidak perlu mempertanyakan siapa dia, aku tahu kalau dia adalah salah satu orang besar di kota ini. Presiden termuda sebuah bank dunia yang akan membuat semua orang menempel padanya. Orang kaya dan berkuasa. Aku tidak dapat mencari jawaban kenapa orang seperti itu berjongkok di depanku. Apalagi pria itu memperhatikanku seolah tengah menilai sesuatu.

"Kau Deanna Benton?"

Mendengarnya menyebut nama belakangku, aku ingin tertawa. "Poole. Kau mungkin tidak mendengarnya. Suamiku sudah mati. Satu minggu yang lalu."

"Aku mendengarnya. Tapi mati bukan berarti bercerai."

"Ah, kau benar-benar tidak mendengarnya. Aku diceraikan, bukan oleh suamiku melainkan ibunya dan seluruh keluarganya. Mereka membuangku begitu saja. Kau melihat aku di sini jelas tahu jawabannya kalau apa yang aku katakan tidak diadakan."

"Kau gadis yang cukup sarkas."

Aku mendengus. Apalagi yang membuat aku bisa bersikap lembut dan perhatian? Karena ternyata kebaikan tidak pernah dibalas dengan kebaikan. Apalagi untuk mereka yang tidak tahu diri. Dan kebanyakan dari mereka yang tidak tahu diri berasal dari keluarga kaya berkuasa.

Pria di depanku adalah salah satunya. Mereka pandai dalam memanfaatkan orang lain. Apalagi mereka yang membutuhkan uang.

Dan aku tidak menemukan alasan lain kenapa pria seperti ini ada di depanku. Dia tahu tentangku cukup banyak, lebih dari yang seharusnya diketahui orang asing. Jadi dia pasti menyelidikiku atau mungkin mendengar dari seseorang.

Untuk bisa membuat seseorang seperti pria ini tertarik, pasti dia membutuhkan aku dalam sebuah peranan penting dalam hidupnya. Dan aku tidak tertarik. Aku berhenti berhubungan dengan uang dan kuasa. Aku lebih suka hidup di desa kecil yang terpencil. Aku meniatkannya dan niat itu semakin besar saat aku bertemu dengan pria ini. Dia memberikan lebih banyak alasan. Karena terhubung dengan Lucas Sanford, tidak akan pernah ada akhir yang menyenangkan.

"Aku datang untuk mendiskusikan sesuatu denganmu."

"Tidak tertarik."

Lucas mengetuk jemarinya pada lutut. Dia seperti memikirkan sesuatu atau merenungkan sesuatu.

"Jika kau membutuhkan apa pun dariku, maka kau salah, Tuan Sanford. Aku tidak tertarik pada apa pun saat ini. Kau bisa mencari orang lain. Jika apa yang kau butuhkan ada padaku, maka itu harusnya ada pada gadis desa miskin lain. Kau bisa mencari mereka yang memang butuh pada apa yang bisa kau berikan." Aku berdiri hendak pergi meninggalkan sebelum aku benar-benar tidak memiliki celah untuk melarikan diri.

"Bagaimana ini, perempuan itu harus dirimu." Lucas juga berdiri. Kami berhadapan. "Tidak bisa perempuan lain. Sayang sekali." Lucas hendak menyentuhku.

Segera aku menepisnya, memberikan pandangan tidak senang pada apa yang coba dia lakukan.

Dia tersenyum saja, tidak tampak tersinggung sama sekali. Seolah tepisan itu malah membuat dia semakin bersemangat.

"Aku tidak ada waktu untuk main-main denganmu,Tuan Sanford. Dan aku harap kau tidak menggangguku lagi hanya demi kesenanganmu. Selamat tinggal." Aku melangkah dengan dagu terangkat tinggi. Memegang perutku dan mengatakan pada diriku sendiri kalau aku bisa melewati ini semua. Tidak akan kubiarkan siapa pun menghentikan langkahku.

"Anak itu ... kau pasti tidak tahu siapa ayahnya?"

Langkahku terhenti. Aku sudah mengatakan pada diriku sendiri, apa pun yang dia katakan, aku hanya harus mengabaikannya dan melanjutkan langkah. Dia hanya akan beromong kosong. Yang ada di mulutnya hanya candaan geli karena memandang rendah padaku. Hanya itu.

Siapa sangka satu kalimat darinya sudah membuat kakiku seperti terpasak ke tanah. Aku mengepalkan tangan. "Aku tidak tahu yang kau katakan. Aku ...."

"Itu milikku."

Aku langsung berbalik, memandang padanya dengan tidak percaya. Dia tidak serius mengatakannya.

"Kau sedang mengandung anakku, Dea."

Wajahku memucat. Debar di dadaku menguat. Pandanganku bahkan memburam oleh airmata. "Kau tidak serius? Katakan kau hanya bercanda?"

"Apa begitu buruk mengandung anakku?"

"Aku tidak mengandung anakmu," elakku sepenuh hati. "Aku dan Tony melakukannya di rumah sakit besar dan terpercaya. Kami membayar dengan mahal untuk melakukannya dan aku sangat yakin kalau aku tidak memiliki hubungan denganmu yang bisa membuat aku mengandung anakmu."

"Siapa bilang kau mengandungnya dengan cara tidur denganku?"

Tubuhku semakin kaku. Aku tidak ingin mendengarnya tapi juga tidak bisa menutup mata pada bagaimana dia begitu pongah dalam memberikan ucapannya. Aku hanya bisa bahkan meski aku tidak ingin, aku tetap harus mendengarnya.

"Benih yang dimasukkan ke tubuhmu adalah milikku. Dokternya sepertinya agak tidak pintar karena ternyata dia salah mengambil benih dan memasukkannya padamu. Aku sudah menemui dokternya dan dia mengakui kesalahannya. Jadi sekarang kau harusnya mengerti, kalau perempuan itu harus kau, bukan?"

Memegang perutku dengan kuat, aku bergetar. "Kau akan mengambilnya dariku?"

"Tidak selama kau bisa melakukan apa yang aku mau. Bukankah kau sangat menginginkan bayi itu?"

Apa dia tahu kalau aku memang mendambakkan darah dagingku sendiri? Aku selalu menginginkan kasih sayang seorang ayah dan ibu di hidupku. Untuk menebus apa yang tidak pernah bisa kumiliki, aku selalu menginginkan anak. Lalu memberikannya rumah dan keluarga yang lengkap. Sayangnya aku sepertinya memang dikutuk hingga keinginan sederhana seperti itu tidak bisa kudapatkan.

Wajah Lucas menampakkan kemenangan telak. Dia selalu tahu kelemahan lawannya dan akhirnya dia juga menemukan kelemahanku.

Benih Sang Presiden (MIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang