Hania menggigit bibir bawahnya sambil melemparkan tatapan sengit pada Kenan. Tangannya ragu-ragu mengarahkan potongan daging ke mulut laki-laki itu yang membuka perlahan. Kenan langsung melahap potongan daging itu saat sudah di dekatnya.
“Melon,” kata Kenan yang masih mengunyah makanannya.
Wajah Hania langsung kusut mesut. Mau tak mau ia mengambil potongan melon yang tersaji dan kembali mengarahkannya ke mulut Kenan.
“Tangan saya sakit karena dijadikan bantal oleh kamu. Sulit digerakkan. Kaku. Dan itu membuat saya kesulitan untuk makan. Kamu tentu tak mau membiarkan suami kamu ini kelaparan, bukan?”
“Masih ada tangan kiri, Pak Kenan.”
“Makan itu paling bagus pakai tangan kanan. Kamu sendiri yang bilang waktu itu kalau dalam agama kita sangat dianjurkan melakukan segala hal baik dengan tangan kanan. Ingat?”
“Tapi, kalau darurat, gak masalah kok. Pak Kenan boleh pakai tangan kiri buat makan. Kalau udah sembuh, baru pake tangan kanan lagi. Allah itu Maha Memudahkan.”
“Maka dari itu, tak ada salahnya kan kamu membantu saya makan? Lebih baik mana? Saya makan sendiri dengan tangan kiri atau disuapin kamu selaku istri saya dengan tangan kanan?”
Percakapan sengit itu berakhir dengan kekalahan di pihak Hania. Ia merasa tersudut. Ada saja alasan Kenan untuk membuatnya tunduk dan patuh pada segala keinginannya.
Tak ada bedanya dengan situasi ketika keduanya bekerja.
Apa mungkin memang ini cara Kenan menjalankan peran sebagai suami di pernikahan mereka?
Mendominasi dan menuntut.
“Padahal saya gak minta Pak Kenan buat benerin posisi tidur saya loh. Kenapa jadi saya yang kena getahnya cuma gara-gara tangan Pak Kenan jadi kebas?” protes Hania dengan tangan yang masih cekatan mengambil potongan makanan, lalu menyodorkannya pada Kenan.
“Memangnya ada suami yang tega membiarkan istrinya tidur dalam posisi tengkurap sampai kehabisan nafas?”
“Pak … posisi tidur saya emang kadang kayak gitu. Dan gak pernah bikin saya kehabisan nafas. Toh dengan sendirinya juga nanti tubuh saya ubah posisi.”
“Saya hanya berinisiatif dan kamu malah mengomeli tindakan baik saya? Bukannya berterima kasih?” sengit Kenan.
“Bukan gitu, Pak …. Masalahnya—”
“Ya sudah! Lain kali saya tidak akan melakukan hal seperti itu. Mau kamu tidur tertelungkup, jungkir balik, atau jatuh sekalipun, saya tidak akan peduli!
Kenan bangkit dari duduknya sambil memutar tangan kanannya yang sakit beberapa kali. Hania hanya bisa melongo melihat hal itu. Setelah itu, Kenan justru malah mengambil masker snorkeling dan seketika terjun ke laut.
“Ya, Tuhan! Ternyata dia baru saja mengerjaiku! Aaarrrggghhh!!! Maunya apa sih dia?”
***
“Gagal!” seru Kenan ke arah seberang telepon sambil memijit pelipisnya.
Ia meraih segelas minuman berwarna keruh yang baru saja disodorkan seorang bartender padanya. Meneguknya perlahan.
“Saya sudah memperlakukannya dengan sangat baik, Bima. Tapi, balasannya? Dia malah mengomeli saya.”
“Itu bukan omelan menurut saya,” terdengar suara Bima dari seberang telepon, “tapi keluhan, Pak. Bu Hania sepertinya tak suka dengan cara Pak Kenan yang berpura-pura sakit tangan hanya demi mendapatkan perhatian. Apalagi sampai disuapi? Saya tak mengira Pak Kenan punya skenario serumit itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DIPAKSA JADI JODOH (on going)
RomanceOrang gila mana yang habis dikhianati kekasihnya, justru malah menikah dengan orang asing? Orang gila itu adalah Hania. Dan orang asing mana yang tiba-tiba mengajaknya menikah? Dia adalah Kenan, atasan Hania yang terkenal suka gonta-ganti cewek! ***...