6. One Step Closer

485 102 10
                                    

Hari ini Bianca masuk sekolah seperti biasa, benjolan didahi sebelah kanannya sudah kempes sepenuhnya. Sudah kembali cantik paripurna, cegil things. Jk.

Senyum semanis madunya kian mengembang, saat netra beningnya menangkap eksistensi yang dari awal gadis itu berangkat ke sekolah sudah menjadi tujuan utamanya— Raden, siapa lagi memang?

Gadis yang kali ini surainya diikat menjadi satu dan hanya menyisakan poni dikanan dan kirinya itu, berjalan riang menghampiri Raden yang posisinya tengah mengobrol dengan teman-teman satu gangnya. Ditangannya terlihat memegang paperbag berukuran sedang, entah apa isinya.

"Hai..." sapanya, tepatnya pada Raden. Tapi yang membalas paling semangat justru Orion dan Victor.

"Widih ada si cantik," ujar Orion. "Hai!"

"Halo, temen sekelas. Cari siapa? Gua, ya?" timpal Victor seraya tersenyum tengil.

Bianca tertawa kecil. "Gue nyari Raden," katanya.

Yang disebut namanya sontak menoleh seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Nih," ujar Bianca seraya menyerahkan paperbag tadi pada Raden.

"Apa?"

Singkat, padat dan gak jelas. Untung demen, dumel Bianca dalam hati. Gadis itu tetap berusaha untuk mengembangkan senyumnya. "Dari nyokap gue. Katanya sih, sebagai ucapan terima kasih karena lo udah nganterin gue kemarin."

"Gak—"

"—iihhh, gak baik loh nolak pemberian orang tua. Emang lo gak kasian apa sama nyokap gue yang udah buatin ini buat lo? Dia effort banget lohh," sela Bianca.

Raden terdiam. Sejujurnya, dia jarang sekali menerima barang atau makanan pemberian dari orang lain, apalagi perempuan.

Samudra menyenggol lengan Raden. "Ambil lah, gak enak juga sama nyokapnya. Kan niatnya baik."

Orion mengangguk setuju. "Bener tuh! Kasian calon mertua gua udah susah-susah buatnya."

"Yeee, ngarep lo monyet!" cibir Victor.

"Ssst, sesama monyet gak boleh berantem," lerai Baskara.

Elang tertawa puas. "Yang akur yang monyet-monyet ku."

"Setan!" maki Orion dan Victor bersamaan.

Raden menghela napas. Menatap antara Bianca dan paperbag yang gadis itu sodorkan padanya. Sepersekian detik kemudian, tangannya terulur untuk meraih barang tersebut. "Gua terima, thanks. Sampein makasih juga buat nyokap lo."

"Alright." Bianca tak bisa menahan senyum senangnya. "Yaudah, kalo gitu gue cabut ya. See ya Raden!" pungkasnya seraya berlalu dari hadapan cowok-cowok itu.

Yesss! The power of bawa nama nyokap, teriaknya girang dalam hati. Faktanya, cookies yang baru saja Bianca berikan pada Raden adalah hasil dari tangannya sendiri, bukan juga pemberian dari Mamanya untuk Raden. "Jadi cegil harus pinter-pinter bikin alibi. Apalagi buat cowo spek kanebo kering kaya Raden gitu. Haha, you're super smart Bianca!"

"Oh, seneng makanan dari lo diterima sama Raden? Iya?"

"Buset. Tiba-tiba banget munculnya, udah kaya tuyul," celetuk Bianca seraya mengusap dadanya. Agak kaget karena kedatangan Kanaya dan dayang-dayangnya.

Kanaya terlihat memutar bola matanya malas, menatap Bianca dari atas ke bawah— tatapannya terlihat meremehkan, kentara dari sudut bibirnya yang terangkat sebelah. "Oh, murid baru ternyata. So, you don't know about me?"

"I know you kok," tukas Bianca. Gadis itu menatap Kanaya lekat-lekat. "Kanaya Salsabila, kelas dua belas IPA dua. Bener, kan?"

Kanaya tersenyum simetris. Aura villain characternya menyeruak saat gadis itu menarik salah satu sudut bibirnya. "Good. Tapi satu hal yang perlu lo tau— stay away from Raden. He's mine!" tekannya diakhir kalimat. "Lagian, kalopun lo tetep kekeh buat mepetin Raden, gue yakin seribu persen lo gak akan dinotice sama dia. Jangankan dinotice, makanan pemberian dari lo pun gak akan pernah dimakan—"

ᴄʀᴀᴢʏ ᴄʀᴜsʜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang