14. The Reason Why

440 114 27
                                    

"Gimana? Enak gak?" tanya Eros seraya menatap gadis di hadapannya lekat-lekat. Lucu.

Bianca mengangguk dengan semangat. "Banget! Sumpah gak bohong, ini es krim paling enak yang pernah gue makan. Thankyou loh udah di rekomendasiin. Gue mau ngajak temen-temen gue kesini ah weekend nanti."

"Sama-sama," balas Eros. "Lo bisa hubungin gua kalau butuh referensi tempat-tempat yang enak buat nongkrong atau ngerjain tugas. Just in case lo butuh, gua nawarin aja gak maksa."

"Okay, nanti gue tanya-tanya ke elo kalau udah keabisan tempat nongkrong," ujar Bianca. Masih dengan khidmat menikmati ice cream rasa strawberry yang gadis itu pesan. "Btw, lo kok bisa tauan tempat kaya gini sih? I mean, cowo kan biasanya jarang mau makan es krim."

Eros terdiam sejenak. Sedetik kemudian kembali menatap Bianca seraya berkata. "Dulu ada yang ngajak gua kesini."

"Ooh, cewe lo?" tanya Bianca, mengalihkan tatapannya dari ice cream miliknya ke cowok di hadapannya itu.

Tapi celengan kepala dari Eros membuat Bianca mengernyitkan dahinya bingung. "Terus? Temen-temen satu gang lo? Kok kaya gak mungkin banget, orang sangar-sangar semua gitu."

Eros tertawa. "Adek gua... "

"Lo punya adek? Sumpah? Ihhhh pasti seru banget ada yang bisa diajak main. Gue anak tunggal, sepi banget rumah," ujar Bianca excited.

Eros mengangguk pelan. "Iya, seru. Tapi dulu, sekarang udah enggak. Sepi. Gua sendirian."

"Oh adek lo sekolah di luar negeri? Kan tiap tahun bukannya ada libur, ya? Emang gak pulang? Atau lo yang nyamperin gitu," tebak Bianca.

"Tiap minggu malah gua nyamperin adek gua," balas Eros.

Bianca mengernyit. "Hah? Gimana sih maksud lo? Adek lo ini dimana sebenernya?"

"She's gone.. dia udah gak ada. Makanya gua sendiri. Jadi anak tunggal, sama kaya lo."

Bianca sontak mengatupkan bibirnya. Menatap Eros sendu. "Sorry, i didn't mean. Gue gak tau kalau—*

"Gapapa. Santai aja, udah lama juga," potong Eros dengan senyum simpulnya. "Kalau boleh gua jujur," jeda. "Lo mirip banget sama adek gua," celetuknya. "Makanya, momen dimana pertama kali kita ketemu- yang ban mobil lo bocor malem itu, gua gak segan-segan buat bantu lo. Karena gua mikir, kalau seandainya adek gua yang ada diposisi itu dan gak ada satu orang pun yang nolong... so yeah, i help you."

Bianca tertegun. "Gue turut berduka cita, ya. Semoga adek lo dapet tempat terbaik disisi Tuhan."

"Amiin, thankyou. Btw, lo gak keberatan kan kalau gua ngeliat lo sebagai adek gua? Beneran sebagai adek gua doang gak ada maksud lain. Tapi kalau gak—"

"—gapapa kok!" sergah Bianca cepat dengan senyum semanis madunya. "Btw kalau boleh tau, nama adek lo siapa? Mau liat fotonya boleh gak?" pungkasnya.

"Cecilia, biasa dipanggil Cila. Boleh, bentar gua tunjukkin."

Sepersekian detik kemudian Eros menyodorkan ponselnya pada Bianca, yang mana sudah terpampang foto seorang gadis manis dengan seragam Sekolah Menengah Pertama-putih biru, dan surai yang dikepang dua dengan poni tipis di dahinya. Cantik sekali. Manis.

Setelah mengamati foto dari adik Eros itu, Bianca baru sadar satu hal. Kalau ternyata, pancaran bola mata antara dirinya dan mendiang Cecilia memang sama— sama-sama berwarna coklat dan berkilau. Lekukan senyumnya pun hampir mirip.

ᴄʀᴀᴢʏ ᴄʀᴜsʜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang