12. As It Happens

483 107 37
                                    

"Lo beneran gak ada takut-takut nya ya sama gue?"

Bianca menoleh. Gadis yang surainya dicepol asal itu mengusap dadanya, terkejut dengan kehadiran Kanaya yang sudah seperti jalangkung. "Lo bisa gak sih Kak kalau mau ngajak ngobrol tuh intro dulu?"

"Gak usah sok asik!"

"Asikin aja kali," balas Bianca seraya merapikan seragam olahraganya. "Oh ya tadi lo ngomong apa? Gue gak ada takut-takut nya sama lo? Pfft," ujarnya sembari menahan tawa. "Emangnya lo siapa anjir, Kak? Tuhan? Orang tua gue?" selorohnya. "Ngapain gue takut sama lo, sama-sama manusia ini, sama-sama makan nasi juga kan?" Bianca menghela napas, menatap Kanaya lekat-lekat. "Gue lagi gak mood buat ngeladenin lo, so, get out from my face. Eneg banget asli gue liat lo, Kak."

Kanaya naik pitam. Tangannya terayun, bersiap untuk melayangkan tamparan pada pipi Bianca. Tapi sebelum itu, tangan Bianca sudah lebih dulu mencekal pergelangan tangan Kanaya. "lo—"

" —gue tau bokap lo donatur tetap di sekolah ini. Tapi bukan berarti lo bisa bersikap seenaknya ke gue ataupun siswi siswi lain," ujar Bianca. "Lo harusnya mikir, apa dampak yang bakal lo dapet nantinya dimasa depan. Lo pikir, Tuhan bakal diem aja? Enggak! Suatu saat, gue yakin- lo bakal dapet ganjaran yang setimpal atau mungkin lebih parah atas perbuatan lo," sambungnya. "Inget hukum tabur tuai Kak— karma does exist. Lo belum dapet gilirannya aja," tandasnya seraya melepas cekalan tangannya. "Oh ya satu lagi. Soal Raden- bukannya itu hak gue ya buat deketin siapapun? Lo gak ada hak dan kewajiban buat ngatur atau nyuruh gue buat jauhin Raden. Lo pikir lo siapa anjir, Kak? Anak presiden? Hh, kalau emang berani ayo bersaing secara sehat. Cara kotor lo ini, gak akan bikin Raden suka sama lo— jangankan suka, ngelirik aja ogah," pungkasnya. Kemudian berlalu dari sana. Meninggalkan Kanaya dengan amarah menggebu-gebu.

"Brengsek!"

Bianca berjalan menuju lapangan outdoor dengan bibir mencebik. Gadis itu tak ada henti-hentinya mendumal kesal karena perilaku Kanaya tadi.

"Kiw, cewe.."

Panggilan itu berasal dari belah bibir Victor- berhubung keduanya berada di kelas yang sama, jadinya Victor bisa lebih bebas dan leluasa menggoda gadis itu— dalam konteks, bercanda. Terlebih Orion masih terbaring di rumah sakit. "Cemberut aja, kenapa sihh? Senyum dong, nanti cantiknya ilang lohh~"

"Emang iya?" tanya Bianca.

Victor mengernyit. "Emang iya apanya?"

"Emang iya kalau gue cemberut jadi jelek? Gak cantik lagi? Nanti Raden gak suka dong sama gue," celoteh gadis itu seraya menangkup kedua pipinya.

"Hadahh, beneran cinta mati lo sama Raden?"

Bianca mengangguk semangat. "Kaya lagunya Billie Eilish, l'll love you 'till the day that I die."

"Apa alasan lo suka sama Raden?" tanya Victor yang membuat Bianca menghentikan langkahnya kemudian menatap cowok itu lekat-lekat.

"Hm, apa ya? Karena dia ganteng, mungkin?"

"Ganteng doang?" tanya Victor memastikan, jujur agak sedikit salah tingkah karena Bianca menatapnya. "Gua juga ganteng, Samudra juga apalagi."

"Ya beda!" seru Bianca. "Maksud gue— gak tau juga sih, gue langsung suka sama Raden pas pertama kali ngeliat muka dia," jelasnya. "Lagian, bukannya mencintai atau menyukai seseorang gak harus punya alasan?"

"Ya enggak lah! Setiap orang pasti punya alasan kenapa dia suka sama itu orang, apa kek? Baik, ramah, murah senyum, suka sedekah? Masa lo gak ada?"

Bianca menghela napas. "Itu kan orang-orang, bukan gue. Tau ah, intinya gue mencintai Raden tanpa alasan— karena ganteng deh, biar lo puas! Bye, gue duluan keburu kena omel Pak Reno kalau gue ngeladenin lo mulu." Dan gadis itu melangkah lebih dulu, meninggalkan Victor seorang diri.

ᴄʀᴀᴢʏ ᴄʀᴜsʜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang