Bab 18 | Bisa Karena Terbiasa

8 0 0
                                    

Halooo
Aku kembali guys!
Gimana kegiatan kalian akhir-akhir ini?

Gimana pun itu, jangan maksain ya vren. Istirahat yang cukup. Sehat itu mahal. Sehat itu berharga🩶

Seorang gadis tampak pucat dengan tatapan yang kosong tengah menikmati angin yang menerpa wajahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang gadis tampak pucat dengan tatapan yang kosong tengah menikmati angin yang menerpa wajahnya. Membiarkannya membawa sebagian penat yang dipikul teramat berat. Sangat berat. Hingga dadanya sesak dengan tenggorokan yang tercekat. Sesekali gadis itu menghela napas pelan. Tidak. Dirinya tidak boleh lemah. Ada banyak hal yang menunggu di depan sana. Samar-samar, tapi ada. Iya, sepertinya begitu.

Livi tidak tahu, jika seseorang menatapnya cemas dari kejauhan. Berdoa penuh harap tentang hal-hal yang terus mengalir, dengan tidak melupa pada ombak yang sesekali menghantam. Entah terkabul atau tidak, Leo ingin selalu berada di dekat Livi. Mengawasi bagaimana gadis itu menyiksa diri demi sebuah gelar tidak seberapa. Demi mendapat pengakuan orang tuanya yang sudah lama jauh di luar sana.

"Li, nanti harus sama-sama terus. Kita harus wujudin mimpi kita. Kita buktiin ke semua orang. Kita bisa," gumam Leo penuh keyakinan.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh lima menit, Livi tiba di rumahnya. Leo segera memarkirkan motornya dan menghampiri Livi.

"Leo? Lo ngikutin gue?" tanya Livi sedikit terkejut karena Leo tiba-tiba membukakan pintu untuknya.

"Iya," jawab Leo singkat.

"Lo mau minum a ...." Belum sempat Livi menuntaskan kalimatnya, Leo sudah memotongnya terlebih dahulu.

"Diem. Gue ngga mau minum. Sekarang lo ganti baju, istirahat. Gue udah pesenin lo makan. Bentar lagi dokter juga dateng. Jadi mending lo ganti baju sekarang." Livi dibuat melongo. Apakah telinganya tidak salah dengar? Dokter katanya?

"Dokter?"

"Iya. Dokter Farhan, dokter pribadi nyokap gue kalo gue sakit. Lo harus diperiksa biar cepet sembuh."

"Gue udah sembuh, Le," ucap Livi berusaha menolak.

"Ngga ada penolakan. Atau lo mau gue izinin tiga hari ngga sekolah?"

Skak

Jika sudah kaitannya dengan sekolah, Livi tidak bisa menolak.

Bagaimana bisa dia berdiam diri di rumah sedangkan yang lain belajar dengan giat? Apakah Leo sudah gila?

"Oke. Gue ganti baju sekarang." Leo mengangguk dan menyenderkan tubuhnya ke sofa.

Sunyi. Itulah yang Leo rasakan di rumah Livi. Sejujurnya, tidak ada bedanya dengan hidupnya. Namun, bedanya dia lelaki. Harusnya lebih kuat dan tentunya lebih pemberani. Leo mengamati setiap inci rumah yang terpahat dengan sempurna. Leo juga mengamati bagaimana orang tua Livi berhasil meraih impian mereka. Hingga lupa pada impian sederhana putri semata wayangnya untuk menikmati hidup bersama.

Memotong sepi, Leo berjalan ke arah dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Namun, sayang. Tidak ada apa-apa. Livi ini pemalas atau bagaimana? Tunggu. Pemalas? Bagaimana bisa dia mengatakan itu setelah melihatnya tetap terjaga di depan tumpukan buku?

"Oke. Livi bukan pemalas. Dia cuma lupa buat peduli sama kesehatannya sendiri. Pantes tuh anak sering ke rumah gue kalo laper." Leo menggelengkan kepalanya.

Tidak menunggu lama, Dokter Farhan sampai di rumah Livi. Leo segera mengantarkannya ke kamar Livi.

Setelah di periksa, Dokter Farhan menyampaikan, bahwa Livi disarankan untuk mengurangi obat-obatan warung seperti obat pereda nyeri atau sakit kepala. Mendengar pernyataan itu, Leo terkejut. Jadi selama ini Livi diam-diam sering mengonsumsi obat sakit kepala atau semacamnya. Ke mana saja Leo selama ini? Dokter menyampaikan seberapa bahaya jika Livi terus mengonsumsinya dalam jangka panjang. Kesehatannya yang akan dipertaruhkan.

Sepulang Dokter Farhan, Leo tidak langsung menanyakan terkait obat-obatan yang dokter maksud. Dia tau hal ini akan membuatnya tidak nyaman nantinya. Lek memutuskan untuk terus mengawasi tanpa mengusik. Seperti yang selama ini dia lakukan.

"Gimana? Gue sehat, 'kan?" tanya Livi sok kuat dengan wajah juteknya. Menutupi rasa sakit pada kepalanya yang masih mendera.

"Iya, lo sehat. Udah, lo sekarang mau apa? Mumpung gue lagi baik. Hitungan ke satu, dua, ti ...."

"Gue mau tidur."

Usia mengatakan itu, suasana mendadak hening. Bukan ini yang Leo harapkan. Namun, ya sudahlah. Barangkali Livi masih belum cukup tidur di UKS tadi.

"Yah, sayang banget duit gue harus masuk kantong lagi," ucap Leo dengan wajah sedih yang dibuat-buat.

"Dih. Muka lo tuh kaya kang bakso borak," ejek Livi sambil memukul lengan Leo.

"Kok bakso borak?"

"Sama-sama ngga jelas."

Leo terbahak. Mengingat beberapa video dengan narasumber penjual bakso borak yang selalu disensor wajahnya. Terdengar garing tapi Leo tertawa juga. Jokes bintang pelajar memang beda.

Leo akhirnya memutuskan untuk pulang setelah Livi mengatakan ingin tidur. Sesampainya di rumah, Leo segera mengganti pakaian karena tadi langsung berlari ke rumah Livi.

Sementara itu, di sebuah tongkrongan, Zavas dan teman-temannya tengah merokok sambil membahas hal-hal random yang sesekali membuat mereka terbahak.

"Eh, inget ngga sih, guru yang botak itu?" tanya Raka di sela-sela tawa mereka.

"Inget, kenapa?" jawab Kevin.

"Gue pernah ngga sengaja ngelempar permen karet ke kepalanya yang pelontos itu. Untuk gue langsung nunduk di balik jendela, jadi aman dari hukuman."

Tidak menunggu lama, semua anak terbahak membayangkan bagaimana permen karet itu menempel di kepalanya.

"Gue juga pernah. Pas itu gue telat, gue sengaja pura-pura mau keluar biar dikira mau kabur. Eh, langsung disuruh duduk." Kali ini Zavas dengan ringkas konyolnya.

"Weh, iya gue inget. Ide lo boleh juga tuh. Kapan-kapan mau coba gue praktekkin deh," sahut Kevin antusias.

"Eh, lomba HUT SMAPSA udah diumumin belom, sih? Penasaran gue."

"Feeling gue sih Senin besok," jawab Zavas.

"Halah, paling juga fashion show Zavas sama Livi yang menang. Yakin gue. Anak-anak aja sampe pada histeris gitu."

"Biasalah, kalo orang ganteng nongol semua pada kagum," ucap Zavas dengan percaya diri.

Seketika Zavas mengingat, bagaimana dia berlatih dengan giat. Padahal biasanya, dia paling tidak peduli dengan hal semacam ini. Dia juga mengingat, bagaimana dia berjalan bersama Livi. Memberikan setangkai bunga dengan teramat romantis. Ah, sial. Ingatan macam apa ini?

Mungkinkah?

***
Untuk kalian, aku ngga tau seberapa berat beban yang kalian pikul. Namun, kita bisa saling menguatkan. Kita bisa saling mendukung.

Kalian ngga sendiri. Kalopun kalian sendiri, inget, masih ada aku yang selalu berharap kalian untuk menjadi orang yang beruntung.

Semoga kita bisa meraih setiap hal yang sedang kita usahakan saat ini.

See u vreeen🩶

Popularity (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang