Popularity merupakan cerita yang mengangkat kisah siswa SMA Negeri Pelita Bangsa yang berusaha keras untuk mendapatkan popularitas. Berbagai hal mereka lakukan agar keberadaan mereka dapat terlihat. Mulai dari selalu menjadi bintang kelas bahkan bin...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suasana malam hari tidak seperti biasanya. Aneh. Kali ini terasa sunyi dengan kepala yang sangat berisik. Juga hati yang bergemuruh riuh. Ada kecewa, sesal, emosi, bimbang, juga sedih. Mengapa serumit ini? Leo mengaku salah. Dirinya egois. Setelah merenung, selama ini Livi sudah terlampau sabar menghadapinya. Dia pikir, selama ini sudah cukup baik kepada teman kecilnya. Rupanya salah besar. Dia seringkali membuat Livi menunggu seorang diri di sekolah karena sibuk dengan tugas OSIS. Namun, mengapa harus Zavas di antara ribuan anak SMAPSA? Padahal Livi tahu betul jika Leo sangat membenci lelaki itu.
"Arghhh! Gue jadi ngga tenang gini."
Leo mulai menekan beberapa tombol di ponselnya. Namun, nihil. Livi mengabaikan panggilannya. Beberapa kali mengirimkan pesan pun tidak kunjung dibalas. Tampaknya, Livi marah besar. Sebelumnya, Livi tidak pernah seperti ini.
"Gue emang bodoh. Ngga seharusnya gue ngomong gitu buat seseorang yang bener-bener lagi berjuang. Gue terlalu bodoh, sedangkan gue tau sendiri gimana beratnya hidup Livi selama orang tuanya di luar negeri." Leo meremas kasar rambutnya dan melempar asal ponselnya. Dia berharap, hubungannya dengan Livi bisa membaik besok. Dengan perasaan yang kacau, Leo melangkah ke balkon. Berharap sebuah kebetulan kembali berpihak padanya.
Namun, lagi-lagi Leo harus menghadapi sebuah kekecewaan. Bahkan kini lampu kamar Livi sudah padam. Tandanya apa? Livi sedang tidak baik-baik saja. Seseorang yang terbiasa tidur terlambat tiba-tiba ingin tidur cepat, artinya dia ingin segera melewati hari ini. Dan semua, karena ego Leo.
"Li, are you okay?"
Sementara itu, pada udara yang lain, Raka menemui Rea di depan rumah. Lelaki itu dengan tanpa basa basi mengatakan, bahwa dirinya merindukan Rea. Dia tidak bisa jauh dari gadis itu. Raka sudah mencoba untuk melupakan dan menerima Rea yang sudah enggan berhubungan dengannya. Namun, sulit. Raka justru semakin tersiksa.
Rea yang awalnya diam mulai membuka bibir dan bersuara. Melihat itu, Raka mulai dihantui dengan respon penolakan yang kemungkinan akan dia dapat. Dia tidak peduli. Apapun jawaban Rea nanti, setidaknya Raka sudah mencoba. Kesekian kalinya.
"Kelakuan lo waktu itu, jujur udah bikin gue kecewa, Ka. Sampe gue susah percaya sama cowok lain."
"Tapi sialnya, gue selalu gagal buat ngelupain lo. Gue pikir, mungkin gue biarin aja sampe gue bener-bener muak. Hasilnya, lo, Ka. Cowok brengsek yang selalu ada di pikiran gue."
"Lo jahat, Ka. Lo udah nyiptain luka, tapi lo juga yang bawa penawarnya."
Mendengar itu, Raka tidak segan memeluk Rea. Kini, dia rasakan tubuh gadis itu sedikit bergetar karena menangis. Raka mempererat pelukan mereka untuk menyalurkan emosinya.
"Maaf udah bikin lo sakit separah itu. Maaf udah bikin lo trauma sama cinta. Maaf udah hancurin kepercayaan lo. Maaf buat semuanya. Izinin gue buat ngobatin itu semua. Gue janji, gue ngga akan ulangin hal bodoh itu lagi."
***
Mentari telah kembali menyapa dunia dengan senyum indahnya. Memberi kehangatan bagi setiap insan dengan beragam rutinitasnya. Sayangnya, kehangatan itu tidak sampai pada sosok lelaki jangkung yang kini terlihat gelisah sembari beberapa kali menekan tombol di ponselnya. Merasa panggilannya diabaikan, Leo terus berusaha mengetuk pintu rumah Livi. Namun, sepertinya tidak ada tanda-tanda keberadaan Livi di rumah. Leo meraup wajahnya kasar dan bergegas mengendarai motornya.
Perjalanan terasa begitu hampa. Entah mengapa tiba-tiba bayangan berbagai kenangan kebersamaannya dengan Livi mulai muncul di hadapannya. Dengan diliputi rasa bersalah, Leo terus membelah jalan agar bisa segera bertemu Livi. Dia tidak bisa seperti ini. Leo harus meminta maaf dan memperbaiki kesalahannya. Iya. Harus.
Sesampainya di sekolah, Leo berjalan dengan penuh percaya diri menuju kelas Livi. Leo mengamati sekitar untuk mencari keberadaannya. Namun, sulit. Karena semua anak tengah beraktivitas sehingga menghalangi pandangannya. Tiba-tiba sebuah tangan kekar menepuk bahunya.
"Nyari apa bro?" ledek Zavas sambil terkekeh.
Leo mengabaikan Zavas dan terus mencari keberadaan Livi.
"Livi? Masa kalian udah habis bro. Udah saatnya gue maju. Sabar ya." Kalimat tersebut berhasil membakar emosi Leo yang sudah berusaha keras dia pendam. Tangan Leo mengepal kuat. Rahangnya mulai mengeras.
"Santai bro! Cowok populer kayak lo ngga pantes marah-marah. Harus sabar, jaga image, haha. Makan tuh image. Apalagi lo sekarang calon ketua OSIS kan? Gila popularitas."
BUGH!
Sebuah pukulan sontak membuat semua anak di kelas histeris, bahkan beberapa di antaranya mengabadikan momen tersebut. Melihat keributan ini, Livi yang tengah menyenderkan badannya di kursi paling ujung pun terbangun. Livi yang tidak tahu kronologinya hanya melihat bahwa saat ini Zavas tengah terjatuh di lantai dengan bibir yang robek. Sontak Livi membantu Zavas bangun dan memelototi Leo dengan sengit. Melihat hal ini, hati Leo seperti di iris-iris. Sakit. Belum sampai di sini, baik Leo maupun Zavas akhirnya dipanggil ke ruang BK. Pertama kali dalam sejarah seorang Leo masuk ke ruangan mengerikan itu.
Zavas berhasil memanipulasi keadaan sehingga Leo tampak bersalah di depan Livi.
"Lo tuh kalo salah minta maaf, jangan malah bikin masalah baru! Se-gengsi itu ngomong maaf? Atau emang karakter lo yang ngga pernah mau ngakuin kesalahan? Sikap lo yang kaya gini ngerugiin orang tau ngga?"
Usai Livi mengeluarkan berbagai isi hatinya, Leo hanya terdiam dan menatap iria cokelat gadis itu lekat-lekat. Mencari tau apakah gadis di depannya ini benar-benar teman kecilnya? Kecewa. Memang benar. Ini gadis kecil itu.
Leo tersenyum miris.
"Satu kesalahan gue karena ngelukain dia, bisa bikin lo semarah ini, Li. Lo lupa ada berapa banyak kesalahan manusia brengsek di samping lo yang udah dia lakuin sampe ngelukain banyak orang. Lo lupa itu?"
"Oke. Gue akuin gue egois. Gue tadi pagi cuma niat mau minta maaf sama lo, gue sadar gue banyak salah. Dan sekarang gue juga minta maaf karena ngga bisa jadi seseorang yang bisa lo percaya. Gue cuma pengen lo aman, Li. Tapi kayanya lo ngga perlu itu. Gue lupa kalo lo bisa handle semua hal." Leo sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Dia memutuskan untuk pergi dengan perasaan yang hancur.
Livi sendiri menyaksikan bagaimana bahu cowok itu tidak setegap biasanya. Entah mengapa ada sesuatu yang seakan mencekik tenggorokannya. Sangat sakit. Apakah persahabatan mereka kini sudah berakhir? Rasanya tidak rela jika hal itu terjadi. Namun, bagaimana? Leo sudah terlampau kecewa, sedangkan Livi dengan segunung gengsinya. Apakah yang akan terjadi selanjutnya?
*** Menurut kalian, apa yang bakalan terjadi?
Sakitnya nembus layar yaa. Ketika orang yang kita percaya malah ngga percaya sama kita💔