Setelah menghabiskan makan malamnya, Kirey segera mengantarkan burito milik Austin yang tertunda. Ia tak sepenuhnya percaya bahwa laki-laki itu tak kelaparan. Mungkin saja Austin sama keras kepalanya seperti James. Ego mereka masih berada paling depan akibat pertengkaran tadi siang.
"Aku mengantarkan burito yang diberikan Noah untukmu." Kirey berbicara di depan pintu kamar Austin sembari menunggu jawaban.
"Masuklah," jawab Austin keras.
Kirey membuka pintu kamarnya. Menemukan Austin yang menyentuh punggung belakangnya. Tak berhasil, ia menoleh ke arah Kirey. Kakinya mendorong kursi kerja itu hingga menubruk lututnya.
"Duduklah. Mengapa kau diam saja?"
"Kupikir kau tak ingin diganggu—" Kirey mengangkat burito milik Austin. "Kuletakkan disini saja, ya." Ia menunjuk nakas yang berada di samping tempat tidur.
"Hei, duduklah. Bantu aku mengobati ini."
Kali ini atensi Austin terfokus kepadanya. Ia menanggalkan kemejanya yang kotor begitu saja. Bagian atas tubuhnya dibiarkan terbuka, menyisakan luka-luka baret yang mengisi sepanjang punggungnya. Austin membalikkan badannya ke arah Kirey.
"Apa begitu parah?"
"Lumayan. Darimana kau dapatkan luka-luka ini?" Kirey mulai menyiram cairan infus itu—membersihkan luka-lukanya yang bernanah.
Austin menggedikkan bahu. "Ini baru terasa sakit saat aku bersih-bersih tadi," jawabnya.
"Kau marah pada James?"
"Hanya kesal, sedikit. Mungkin aku akan bersikap sama bila itu keluargaku. Entahlah ... disaat seperti ini—kita tidak bisa hanya melihat di satu sisi." Austin membalikkan badannya tiba-tiba. "Jadi, mana buritoku?"
Kirey menepuk bahunya kencang. "Sialan, kau." Umpatnya yang dibalas tawa.
"Kau tidur sendiri?"
"Sepertinya begitu. Pria asma dan dua anaknya yang biasa mengungsi bersamaku itu sudah pindah ke bawah. Ayahnya tak sanggup bila naik turun tangga terus menerus."
Kirey meringis membayangkannya. Asmanya berat sekali pasti.
"Kau sendiri?"
"Tak menentu. Aku biasa tidur dimana saja."
"Denganku?" Austin kikuk sendiri melihat wajah Kirey berubah. "Maksudku kalau kau mau—satu kamar denganku. Lagipula—ada banyak tempat, aku bisa tidur di lantai." Ia menunjuk ke bawah tanpa menatap Kirey lagi.
"Terima kasih, tapi kupikir lebih baik aku tidur bersama Jillian saja malam ini."
Austin menaikkan bahunya ke atas. Kedua tangannya terjatuh pasrah. "Yaaa sudah kalau begitu." Pria itu menyambar buritonya di seberang. Ia kembali mengenakan kemejanya. "Wvell, thwank ywu, huh," Ucapannya tak jelas karena menggigit burito.
"Apa?"
"Terimakasih untuk ini." Ia menunjuk punggung belakangnya.
"Tentu, tak masalah."
Austin menelan salivanya. "Jadi apa tujuanmu kesini? Kupikir bukan hanya sekedar mengantar ini?" Ia harap Kirey paham maksud pertanyaannya.
"Ya, tentang Rachel."
Lelaki itu tampak berpikir. "Oh, ya!—aku baru ingat karena kau menyinggungnya sekarang," jawabnya antusias. "Kenapa dengannya?"
"Aku sudah bicara pada Jillian. Kurasa kita bisa melihat kondisinya?"
"Memeriksanya begitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN OUT
Science FictionPenyakit flu burung mulai menjangkiti masyarakat satu persatu. Banyaknya unggas yang mati secara bersamaan seperti membuktikan kekhawatiran para dokter. Mereka memperkirakan para pasien akan merasakan dampak yang lebih parah dari sebelumnya. Beberap...